19-07-2019
Jejak digital memberikan informasi banyak bagaimana sikap [i] Jusuf Kalla sebelum berpasangan dengan Joko Widodo dalam pemilu 2014. Jika pasca pemilu 2019 ini benar akhirnya Partai Gerindra gabung dengan pemerintahan, pertanyaannya adalah, apa beda dengan yang di tahun 2014 dimana akhirnya Jusuf Kalla maju bersama dengan Joko Widodo itu? Dan ketika Rizal Ramli diminta gabung, dan kemudian ‘diminta’ untuk pergi?
Rizal Ramli jelas dia ada di luar ‘Partai Wall Street’, dan integritas serta intelektualnya teruji. Meski diminta masuk dan kemudian diharapkan untuk ‘ngamplengi’-‘ngépréti’ satu pihak (misal dengan lontaran peng-peng), tetapi yang namanya Rizal Ramli, karena ada yang tidak benar di pihak ‘pengundang’ juga (yang meminta Rizal masuk) maka ia képrét juga. ‘Misi gagal’ mungkin kesimpulan pihak satunya –si pengundang, dan kemudian Rizal-pun ‘diminta pergi’ juga akhirnya. Jika ini benar maka ini juga menunjukkan sedikit banyak paling tidak ada dua kelompok super-rich yang bermain-main dalam politik republik. Dua kelompok 'tinggalan' era Perang Dingin. Dan siapa bilang super-rich di negara berkembang tidak juga dalam kandang klientisme? Tidak dalam logika patron-klien? Teori ketergantungan sedikit banyak dapat membantu menjelaskan ini.
“The Party of Wall Street has one universal principle of rule: that there shall be no serious challenge to the absolute power of money to rule absolutely,”[ii] demikian dikatakan David Harvey dalam Rebel Cities (2012). Selanjutnya pada halaman lain, Harvey menulis: “The Party of Wall Street ceaselessly wages class war. ‘Of course there is class war,’ says Warren Buffet, ‘and it is my class, the rich, who are making it and we are winning.’ Much of this war is waged in secret, behind a series of masks and obfuscations through which the aims and objectives of the Party of Wall Street are disguised.[iii] SBY mungkin mempunyai kesempatan ‘menumpuk kekuasaan’ selama 10 tahun, tetapi apakah ia mampu menandingi yang sudah ‘menumpuk harta’ selama hampir 50 tahun?
Maka Warren Buffet benar, tetapi di republik bukanlah ‘perang kelas’ tetapi ‘perang’ antar kelompok super-rich yang berbeda patron. Patron yang dalam konteks pergeseran geo-ekonomi dan geo-politik telah memberikan kekuatan besar pada RRC, menyejajarkan diri dari dua pemain besar era Perang Dingin. Dan jelas juga telah memberikan warna tersendiri dalam ‘perang’ antar kelompok super-rich di republik. Lihat bagaimana ada yang sudah tidak sungkan lagi bicara soal ayah kandung-ayah angkat itu. Itulah juga mengapa kemenangan PDIP yang menggetarkan pada 1999 itu, Megawati ‘dipaksa’ menjadi presiden hanya separoh jabatan normal. Dan SBY harus berpasangan dengan JK, dan mengapa keputusan SBY menggandeng Boediono harus ‘dihukum’ pada waktunya. Dan mengapa pula, Joko Widodo harus dengan JK di tahun 2014. Dan pertanyaan di awal tulisan, bagaimana dengan jika Prabowo merapat ke pemerintah? Jika ya, maka ‘harga merapat’ haruslah tidak jauh dari ‘harga wapres’. Lalu bagaimana dengan Ma’ruf Amin? Kita hanya bisa membantu doa, semoga sehat selalu.
Permasalahan menjadi semakin rumit jika kita melihat tempat republik ‘bergejolak’. Pada tahun 1945 ketika Proklamasi dikumandangkan, jumlah penduduk dunia sekitar 2,4 milyar. Pada tahun 1965 menjadi 3,3 milyar penduduk, tahun 2000 menjadi hampir dua-kali lipatnya, 6,1 milyar. Tahun 2014 sebanyak 7,3 milyar, dan 2019 ini sekitar 7,7 milyar orang hidup di planet ini. Dari pemilu-ke-pemilu, tanpa kita sadari jumlah penduduk dunia dimana kita hidup telah bertambah sebanyak 1,5 kali jumlah penduduk republik. Juga soal keterbatasan sumber daya alam (pangan) dan energi. Belum lagi adanya pergeseran dalam dinamika global, yang menurut Antonio Negri dan Michael Hardt dalam Empire (2000), dari imperialism ke imperial.
Maka tidaklah salah jika bertahun lalu Emha Ainun Najib menyentil bahwa kita (dan bukan ‘mereka’) di tahun 2024 mempunyai potensi menapak jalan sebagai ‘jongos total’.[iv] Dan inilah resiko yang harus dipikul rakyat ketika yang sok-nasionalis, sok-marhaenis itu banyak bertebaran dimana-mana. Pethunthang-pethunthung sana-sini ujung-ujungnya karena terbelit masalah per-duitan, ‘perkonth-lan’ –Mr.P, dan ‘pertemp-kan’ –Miss V. Dan juga kebodohan. Jika dulu si Bung menulis soal Islam Sontoloyo (Panji Islam, 1940)[v], dan jika sekarang si Bung masih hidup, mungkin ia akan menulis juga Nasionalis Sontoloyo. Atau juga, Marhaenis Sontoloyo. Dan sebaiknya sesuai saran si-Bung, baca: soontoolooyoo .... *** (19-07-2019)
[i] sikap (keras), misal: kalau Jokowi jadi presiden, bisa hancur negara ini ...
[ii] David Harvey, Rebel Cities, Verso, 2012, hlm. 159 (lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/100-Partai-Wall-Street-di-Republik/)
[iii] Ibid, hlm. 161
[iv] https://www.pergerakankebangsaan.com/002-Cak-Nun-dan-Elysium/
[v] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jild I, Yayasan Bung Karno, 2005, cet-5, hlm. 495-502