16-07-2019
Bayangkan anda diminta bermain puzzle, dan kepingan-kepingan puzzle ada dalam kardus putih tanpa sedikitpun gambar yang akan dihasilkan setelah puzzle selesai disusun. Bandingkan anda bermain puzzle dengan gambar akhir tertempel di bagian atas kardus, mana yang akan lebih mudah menyelesaikannya? Jika puzzle itu masalah, apapun itu ketika akan diselesaikan ia pasti akan melibatkan ‘gambar besar’ yang ada dalam otak, seberapapun samarnya ‘gambar besar’ itu.
Jika di depan republik itu ada beribu-ribu masalah, ‘gambar besar’ apa yang mesti dominan dalam benak penyelenggara negara? Menurut Pembukaan UUD 1945, ‘gambar besar’ itu adalah apa yang kita kenal sebagai Pancasila yang sila-silanya tertulis ada di alinea ke-4 bagian akhir Pembukaan UUD 1945. Dari ‘gambar besar’ itu-pun sudah diterjemahkan pula ‘gambar yang lebih kecil’ yaitu ke-4 ‘tugas’ pemerintah negara Indonesia yang (1) melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan tertib dunia.
Pancasila adalah ‘gambar besar’ yang pertama-tama harus ada dalam benak penyelenggara negara. Maka, pengganggu Pancasila pertama-tama sebenarnya adalah ada di penyelenggara negara. Rakyat akan jadi ‘pengganggu’ penyelenggara negara ketika penyelenggara negara dirasa mulai melenceng dari Pancasila. Dan ‘insting’ rakyat yang paling peka adalah rasa ketidak-adilan yang menderanya. Ketidak-adilan dalam hal perlindungan, terutama dalam hal perlindungan hukum. Ketidak-adilan tidak hanya soal ketimpangan dalam pengelolaan segala hal yang ada dalam tumpah darah-nya, tetapi juga ancaman kedaulatan. Kedaulatan yang terancam yang akan dirasakan juga sebagai sekaligus potensi ketidak-adilan yang membayang. Juga masalah ketidak-adilan dalam kesejahteraan umum dan upaya mencerdaskan bangsa. Bahkan ketika ada masalah internasional yang mengusik rasa keadilan-pun rakyat akan juga bisa merasakannya. Maka, pada titik tertentu kepada penyelenggara negara, rakyat-pun juga punya hak untuk bertekad: tidak ada toleransi lagi bagi pengganggu Pancasila. Bahkan jika penyelenggara negara itu adalah seorang Presiden sekalipun.
Ketika ada kebakaran, kita tidak perlu banyak diskusi tentang bagaimana memadamkan api. Jika ada air, segera guyurkan air sebagai tindakan segeranya, kemudian diikuti langkah-langkah lainnya. Tetapi sebagian besar masalah republik bukanlah seperti layaknya kebakaran itu. Para pemecah masalah, pemecah puzzle akan sering bertindak layaknya menghadapi kebakaran tersebut, yang penting kerja, kerja, kerja. Tentu ini tidaklah salah bagi kebanyakan orang, tetapi tidak bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin akan selalu muncul pertanyaan, apakah kerja, kerja, kerja terkait A misalnya, akan memperkuat terlindunginya bangsa dan tumpah darah? Akan memajukan kesejahteraan umum, dan tidak hanya satu kelompok saja? Dan banyak lagi. Artinya, berpikir paradigmatik bagi seorang pemimpin adalah hal utama yang dituntut . Tentu itu perlu juga ketrampilan dalam eksekusi-eksekusinya. Tidak mudah memang, dan itulah mengapa dalam tradisi China-konfusius ada yang disebut shangshangce [1] dalam memilih pemimpin. Memilih pemimpin terbaik dari yang terbaik. Memilih pemimpin dengan kaliber tertinggi. Dan bukan kelas medioker, apalagi plonga-plongo. Kecuali memang jika ia sekedar boneka pelaksana paradigma atau ‘gambar-besar’ pihak lain baik yang berkeliaran di dalam republik, atau yang ada di luar republik. *** (16-07-2019)
[1] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/018-Shangshangce/