10-07-2019
Pada 10-12 Juli 2019 di Medellin Kolombia, World Cities Summit Mayors Forum (WCSMF) ke-10 mengangkat tema utama ‘Liveable and Sustainable Cities: Building a High Trust City’ atau Kota Layak Huni dan Berkelanjutan: Membangun Kota dengan Tingkat Kepercayaan Tinggi. Forum yang mana Gubernur DKI Anies Baswedan menjadi salah satu pembicara utamanya.
Sementara itu di akhir Juni 2019, dua minggu-an sebelum pertemuan WCSMF itu, di Osaka Jepang diadakan pertemuan G-20, yang salah satu hal penting yang juga ditekankan oleh PM Jepang Shinzo Abe sebagai tuan rumah adalah soal DFFT: Data Free Flow with Trust. Jika kita perhatikan dua pertemuan tingkat dunia tersebut maka segera akan nampak kesamaannya, diangkat soal ‘trust’. Memang ada perbedaan penekanan dalam memaknai ‘trust’ di kedua forum itu, tetapi apapun itu keduanya bicara soal ‘trust’, soal ‘kepercayaan’.
Di tengah-tengah merebaknya pergunjingan soal post-truth, diangkatnya tema ‘trust’ di forum global ini mestinya menjadi perhatian kita juga. Menjadi perhatian karena itu bisa jadi menjadi semacam tanda atau sinyal kemana sebenarnya arah angin global berembus, dan jika kita tidak membangun diri menghadapi angin yang mungkin saja bisa bertambah kuat itu, kita bisa-bisa bernasib seperti dinosaurus, gagal beradaptasi.
Dalam beberapa segi, hadirnya Anies sebagai pembicara dalam WCSMF di Medellin itu adalah buah dari kerja keras, terutama dalam memenuhi janji-janji kampanye. Dan juga bagaimana kota dikelola dengan sedapat mungkin tetap menjaga perasaan warganya, artinya tidak muncul aksi-aksi dari si-pemegang kekuasaan yang dapat dipersepsi warga sebagai satu bentuk kesewenang-wenangan. Kesewenang-wenangan dari si-pemegang kekuasaan tidak hanya soal kesewenang-wenangan dalam hal fisik, tetapi juga –dan bahkan ini yang lebih penting, verbal, dalam berkata-kata. Kesewenang-wenangan verbal dalam bentuk yang paling ‘primitif’ adalah soal kasar atau tidaknya. Naik ke tingkat yang lebih tinggi, kesewenang-wenangan verbal adalah kombinasi dari apakah ucapan itu mempunyai alur logis atau tidak, serta dapat dipercaya atau tidak. Asal njeplak, suka nggedebus, apa yang dikata tidak muncul dalam tindakan atau kebijakan.
Salah satu contoh yang begitu ‘kontra-produktif’ terhadap tema ‘trust’ dalam tulisan ini, dan sebaiknya jangan pernah sekali-kali kita melupakan ini, yaitu bagaimana situng KPU dalam pilpres kemarin yang belum selesai bahkan ketika sidang di MK sudah selesai. Sungguh ini bukan masalah kecil bagi kita sebagai satu bangsa. Apapun alasan, sikap, keterkejutan, keheranan, dari KPU terhadap fakta di atas, tidaklah menghilangkan pengalaman kita bersama bagaimana sebuah peristiwa penting dalam berbangsa-bernegara itu dikelola oleh orang-orang di bawah standar. Bermacam standar, baik itu ketrampilan, intelektualitas, integritas, moralitas. Di bawah standar. Dan orang-orang di bawah standar bukanlah pemain tangguh dalam ranah ‘trust’ seperti yang sedang jadi bahasan tulisan ini. Sadar-atau-tidak, banyaknya orang-orang bawah standar yang bekeliaran di sekitar kekuasaan itu, republik sedang dipertaruhkan. *** (10-07-2019)