19-06-2019
Dalam agungnya sebuah sidang, sungguh sangat menjengkelkan jika kemudian muncul argumentasi ‘salah input data’. Tentu mereka akan bilang, itu manusiawi. Lupa bahwa mereka sebenarnya sedang ada dalam dinamika ‘yang terpilih’. Dalam proses menuju ‘yang terpilih’ untuk mengurus republik. Bukan mengurus urusan kecil, tetapi –sekali lagi, res-publika. Sebuah argumentasi yang tidak hanya melecehkan publik dengan segala urusannya, tetapi juga pendahulu-pendahulu yang bertaruhan darah dan nyawa untuk menegakkan republik ini. Para pahlawan yang tentu mendambakan anak-cucunya mampu berargumentasi jauh di atas yang serba ala-kadarnya itu.
Dari Deng Xiao Ping kita bisa belajar salah satunya bagaimana semestinya seorang pemimpin menghargai rakyatnya sekaligus para pendahulu, dengan bersikap hati-hati ketika menghadapi urusan yang besar dan mendasar. Kita pastinya tidak tahu mengapa Deng Xiao Ping saat membawa rakyat China bergeser dari komunisme ke kapitalisme mengatakan bahwa itu layaknya seperti ‘crossing the river by feeling the stones’. Berjalan menyeberang sungai dengan hati-hati supaya tidak tergelincir licinnya batu. Yang kita tahu adalah ungkapan Deng tersebut dilihat dari sudut manapun tidak ada yang salah, bahkan menunjukkan bagaimana Deng Xiao Ping sebagai seorang pemimpin besar. Pemimpin yang pantang seenaknya saja ketika amanat besar ada di pundak.
Ketika pemimpin tertinggi mampu memberikan contoh bagaimana harus ‘crossing the river by feeling the stones’ maka bawahannya tentu bisa diharapkan juga akan tidak seenaknya bekerja, bahkan di sini pula misalnya, saat ‘input data’. Tidak seenaknya bekerja dan berujar, lebih-lebih dalam berargumentasi. Tetapi bagaimana jika yang muncul dalam penampakan itu justru banyak yang ‘serba-ala-kadar’-nya itu? Yang banyak bertebaran di sana-sini, oleh bermacam bawahan –bahkan oleh diri sang pemimpin tertingginya, dan pada bermacam peristiwa. Ini sebenarnya sedikit gambaran kita sudah masuk dalam situasi ‘anarki’ abad XXI. Abad kalau kita meminjam analisa Alvin Toffler, abad pengetahuan. Era dimana kekuatan pengetahuan-lah yang akan dominan. ‘Arche’ yang akan diwarnai dengan lekat-pekatnya pengetahuan. Dan ketika bermacam pengetahuan dengan bobot ‘ala-kadar’-nya itu menyeruak merebak di ruang-ruang publik, dan seakan ‘mendapat perlindungan’ dari otoritas, di situlah rasa ‘an-archy’ akan semakin terasa.
Dan dalam suasana ‘an-archy’ tersebut, hukum rimba akan mengatakan yang paling fit-lah yang akan bertahan, survival of the fittest. Dan bukan yang berpengetahuan-lah yang akan punya lebih kesempatan untuk mendominasi, tetapi dua sumber kekuatan lain, kekerasan dan uang menjadi sama-sama kuatnya, meski kita sudah menapak kaki di abad XXI. Yang dalam praktek, bisa-bisa kolaborasi diantara dua-tiga kekuatan itulah yang akan mengurus res-publika, dan dapat diprediksi, akan diurus semau-maunya mereka. Tanpa sungkan lagi pada publik maupun pada para pendahulu. *** (19-06-2019)