18-06-2019
Thomas Hobbes membayangkan untuk supaya hidup bersama tidak membusuk hancur, maka orang-orang harus mampu bersepakat. Dan kesepakatan itu pelaksanaannya akan diawasi oleh sang-Leviathan. Tetapi bagaimana jika kemudian sang-Leviathan itu kemudian dikuasai oleh para gangster?
Ketika manusia masih dalam ranah Revolusi Pertanian, kekuatan yang dominan adalah kekuatan kekerasan, demikian menurut Alvin Toffler. Ketika sejarah menapak Revolusi Industri, kekuatan dominan mengalami pergeseran, power shift, dari kekuatan kekerasan ke kekuatan uang. Menurut Toffler, dengan merebaknya Revolusi Informasi, terjadi lagi pergeseran kekuatan dominan, bergeser ke kekuatan pengetahuan. Maka ketika ‘logika gangsterian’ ini masuk ke ranah demokrasi, pada dasarnya hidup bersama telah mengalami arus balik yang sungguh dahsyat. Kekuatan kekerasan menjadi dominan lagi.
Pertanyaannya adalah, mengapa ‘logika gangsterian’ ini dapat masuk ke ranah demokrasi? Dan perlahan membusukkan peradaban bersama? Kita bisa kembali ke analisa Arnold J. Toynbee soal bagaimana peradaban bisa berkembang atau hancur. Salah satunya Toynbee menunjuk peran apa yang disebutnya sebagai ‘minoritas kreatif’. Rongrongan dari para gangster itu adalah juga sebuah tantangan bagi hidup bersama. Dan menurut Toynbee, bagaimana tantangan itu dihadapi secara kreatif dan berani mengambil resiko dari si-minoritas kreatif, dari situlah salah satunya peradaban akan berkembang. Demikian juga sebaliknya.
Toynbee memang menandaskan mekanisme bagaimana terkait dengan apa yang dilakukan oleh si-minoritas kreatif dapat berdampak pada khalayak, yaitu dengan mekanisme mimesis, meniru. Atau dalam segitiga-hasrat-nya Rene Girard, si-minoritas kreatif itu adalah ‘model’ yang akan ditiru oleh khalayak, subyek. Obyek-nya adalah tantangan-tantangan yang ada di depan mata.
Para gangster meski akrab dengan kekuatan kekerasan, mereka bukanlah orang-orang bodoh yang hanya sekedar mengandalkan otot. Dalam peta kekuatan, mereka paham bahwa pada kekuatan pengetahuan-lah mereka mempunyai titik lemah ketika akan masuk membangun atau meluaskan pengaruhnya melalui jalan demokrasi. Maka mereka akan bisa terbuka terhadap yang mempunyai kekuatan pengetahuan untuk bekerja bersama, simbiosis mutualisme: bagi mereka, dan jelas tidak bagi khalayak. Dan mereka sangat sadar bahwa ‘kerajaan gangster’ mereka memerlukan prasyarat-prasyarat tertentu, paling tidak prasyarat politis, teknis, dan sosial. Prasyarat politis adalah soal legalitas dan juga legitimitas sebenarnya. Yang kemudian mereka sederhanakan lebih pada soal sosok semata. Tidak peduli caranya, yang penting muncul sosok yang bisa ‘dibaptis’ sebagai yang sah satu-satunya sebagai pengendali sang-Leviathan. Maka akan dirasa perlu untuk men-deligitimasi ‘sosok-sosok-tandingan’, atau jika mau kompromi: ada dalam kendali, terpaksa atau setengah suka-rela.
Soal ‘teknis’ adalah soal bagaimana bermacam ‘aparatus’ dapat secara efektif dijalankan untuk mendukung dan melindungi sosok yang sudah ‘dibaptis’ itu, sebab dapat dipastikan sosok itu adalah pastilah sebuah boneka. Tidak yang lainnya. Bermacam ‘aparatus’ itu akan bermain dalam tiga ranah kekuatan, ranah pengetahuan, uang, dan kekerasan. Manipulasi melaui media massa, dunia sogok-menyogok, dan segala intimidasi dan sejenisnya.
Prasyarat sosial pertama-tama akan dimaknai sebagai bagaimana sedini mungkin dituntas-selesaikan berbagai potensi yang akan berujung pada perlawanan. Apapun caranya. Yang kedua, membangun habitat-nyaman bagai gaya gangsterian mereka. Kematian-kematian akan dianggap sebagai hal biasa, termasuk juga ketika menebar ancaman kematian, mengacung-acungkan pistol di depan khalayak, misalnya. Dan inilah sebenarnya harga yang harus dibayar ketika pemimpin sebagai ‘minoritas kreatif’ levelnya hanya level nggedebus, selfa-selfi, ona-anu-ona-anu, plonga-plongo. Membusuknya hidup bersama, kata Hobbes. *** (18-06-2019)