09-06-2019
Term Empire di sini mengikuti konsepnya Antonio Negri dan Michael Hardt yang ada dalam buku mereka, Empire (2000). Dengan mengikuti imajinasi Polybius soal kokohnya kekaisaran Romawi Kuno saat itu, dimana kokohnya itu menurut Polybius adalah karena bentuk monarki, aristokrasi, dan demokrasi dijalankan dalam satu waktu secara bersamaan, Negri dan Hardt membangun konsepnya tentang Empire. Imajinasi kita tentang ‘imperialisme’ digeser oleh Negri dan Hardt ke soal ‘imperial’. Imperial, Empire yang juga ‘mengkonsolidasikan’ antara monarki, aristokrasi, dan demokrasi.[1]
Jika kita boleh memaknai Orde Baru sebagai ‘little empire’[2], mungkinkah sekarang sedang ada upaya membangun ‘little empire’ jilid II? ‘Little empire’ tanpa Pak Harto?[3] ‘Little empire’ pasca Perang Dingin? Jika ya, apa bedanya dengan yang jilid I? Sekedar petunjuk ‘kecil’ saja, coba kita kembangkan imajinasi kita soal peran polisi dan peran tentara –termasuk besaran alokasi pembiayaannya juga misalnya, dalam konteks bangunan ‘little empire’ jilid II ini, dan selain itu bandingkan juga dengan analisis Michel Foucault soal pergeseran dari ‘disiplin’ ke ‘kontrol’ yang menjadi salah satu dasar yang dipakai Negri dan Hardt dalam mengembangkan konsep Empire-nya. Dan coba kita sedikit ‘nakal’ dengan meletakkan itu ‘di atas panggung drama’ dengan background 7,3 milyar populasi bumi. Dan semakin ‘menipisnya’ sumber daya bagi semua kehidupan. Juga ‘panggung drama’ yang memaksakan diri mempertunjukkan drama dengan bintang utamanya justru yang ona-anu-ona-anu dan cenderung plonga-plongo? Tetapi kali ini tidak dibahas soal-soal itu, dan kita akan membahas salah satu unsur yang nampaknya sedang ikut ‘dikonsolidasi’, si-aristokrat.
Aristokrasi: (1) pemerintahan / kekuasaan yang berada di tangan orang-orang bangsawan (golongan raja-raja), (2) orang-orang bangsawan itu sendiri, demikian J.S. Badudu dalam Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia.[4] Dan kiranya itu adalah pandangan umum soal aristokrasi. Dari asal katanya sebenarnya pengertian aristokrasi ini tidak ada hubungannya dengan soal turun-menurun. Kata aristo berasal dari kata Yunani aristos yang mempunyai arti ‘best of its kind, noblest, bravest, most virtous’, dan di Eropa sana di tahun 1560-an aristokrasi juga berarti “government by those who are the best citizens”, yang pada awal pemakaiannya dikontraskan dengan monarki. Setelah revolusi Perancis dan Amerika, aristokrasi kemudian dikontraskan dengan demokrasi. Aristokrasi kemudian berarti sebagai ‘rule by a priviledged class, oligarchy, government by those distinguished by rank and wealth’ adalah dari tahun 1570-an dan menjadi semakin penting di abad 17. Makanya paling tidak sejak awal abad 17, berkembang arti pula sebagai yang ningrat, keturunan bangsawan. Ada faktor hereditasnya.
Inggris dan Jepang bisa menjadi bahan pelajaran, bagaimana sebuah ‘mixed constitution’ -meminjam istilah Negri dan Hardt di Empire, di mana unsur-unsur monarki, aristokrasi, dan demokrasi digelar dalam waktu bersamaan, dengan berbagai modifikasinya. Monarki di Inggris memang telah mengalami pembatasan-pembatasan, dan pembatasan-pembatasan itu kelihatannya karena sejarah panjangnya ketika pengertian aristokrasi dikontraskan dengan monarki, dan aristokrasi dalam hal ini merupakan atau dipahami sebagai pengertian awalnya, si-aristo, yang paling fit dalam hidup bersama, the best citizens. Dan bukan pertama-tama dikontraskan dengan demokrasi. Dalam hidup bersama mereka, mungkin Ratu Elizabeth tidaklah mempunyai kuasa langsung untuk memutuskan ini-itu dalam keseharian, tetapi paling tidak ia berfungsi menjaga ‘tatanan kosmos’ ketika ranah aristokrasi dan demokrasi berjalan penuh gejolak. Mungkin ia seperti sosok souvereign yang digambarkan oleh Carl Schmitt, he/she who decides on state of exception sebagai semacam a lender of the last resort. Jadi aristokrasi dalam praktek tidaklah terkait dengan turun-temurun, tetapi bagaimana diantara hidup bersama kemudian melahirkan ‘the best citizens’. Maka sebenarnya disini yang disebut sebagai aristokrat adalah merupakan bagian dari demos, rakyat, dan bukan bagian dari monarki. Bagian dari rakyat yang merupakan ‘best of its kind, noblest, bravest, most virtous’. Si-‘hegemon’ bukan si-‘arche’.[5]
Golongan aristokrat dalam Empire-nya Negri dan Hardt, di tingkat global: ‘aristocratic articulations through transnational corporations and nation-states’.[6] Tidak semua nation-states tentunya, paling tidak yang masuk dalam G-8. Bagaimana dengan ‘little empire’? Mungkin ada yang sedang membayangkan, para konglomerat itu dan partai-partai politik, dalam hal ini: elit partai. Kalau dalam bisnis yang dimulai dengan bisnis keluarga kemudian dikenal istilah generasi I, II, dan seterusnya, dalam partai-politik-pun (baca: elit partai) naga-naganya ada yang sedang 'menyesuaikan diri'. Atau mungkin tidak sekedar ‘menyesuaikan diri’, tetapi ‘penulis skenario’nya memang maksudnya begitu. Dan jelas bukan ‘the best citizens’ yang akan ‘terkontraskan’ dengan logika monarki, tetapi justru untuk .menjinakkan. dan bahkan ikut ‘mengontrol’ si-demos. Atau memanipulasi. Maka jangan heran jika ‘selebritisasi’ para pangeran itu begitu digorengnya oleh media-media atau akun-akun yang merupakan bagian lekat dengan Empire. Para ‘selebriti-politik’ yang akan manggung di panggung republik, dengan lakon: “Hidup Boleh, Kuat Kagak”. Dan tentu juga akan lebih ‘menarik’ lagi jika imajinasi kita terhadap dinamika di ‘belakang panggung’ terkait hal-hal di atas kita ‘perkaya’ dengan seluk-beluk ‘politik hasrat’.[7] Jadi, Anda kemudian menjadi semakin muak? Sama! *** (09-06-2019)
[1] Lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/306-Empire-Polybius-Carl-Schmitt-Negri-Hardt/
[2] Ibid
[3] https://www.pergerakankebangsaan.com/009-Orde-Baru-Tanpa-Pak-Harto/
[4] J.S. Badudu, Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia,Penerbit Buku Kompas, 2002, hlm. 28
[5] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/
[6] Antonio Negri, Michael Hardt, Empire, 2000, hlm. 314
[7] https://www.pergerakankebangsaan.com/135-Politik-Hasrat-Di-Tangan-Mafiosi/