04-06-2019
Kita sering mendengar istilah ‘pesta demokrasi’ terkait dengan gelar pemilihan umum. Tentu tidak ada yang salah dengan itu, mungkin pemakaian istilah itu supaya menurunkan tensi, ketegangan saat gelar pemilu. Bukankah sebuah pesta mestinya untuk bersenang-senang, dan bukan untuk berkelahi?
Apapun bentuk gelar pesta mestinya ada alasannya mengapa pesta itu diadakan. Juga ada yang mengundang dan yang diundang. Sebenarnya tidak hanya faktor kenal-tidak-kenal, atau dekat-tidak-dekat saja mengapa si-pengundang pesta akhirnya mengundang seseorang, tetapi juga karena ia menghormatinya. Demikian juga sebaliknya, para tamu akan juga menghormati si-pengundang dengan datang ke pesta memakai pakaian dan lain-lainnya sesuai dengan kepantasan ‘yang diminta’. Jadi ada respek, dan timbal balik sifatnya.
Jika pengundang pesta adalah pedagang di toko kelontong, maka sebagian besar akan tutup toko demi pesta yang digelarnya. Atau menyerahkan 100% segala aktifitas toko pada asistennya. Dia akan cuti dari aktifitasnya menunggu toko. Tidak mungkinlah ketika ia menerima tamu yang menghadiri pesta gelarannya, ia bolak-balik ke toko melayani pembeli. Jika itu dilakukan, tanpa dibentuk tim investigasi mengapa ia sampai bolak-balik meninggalkan tamunya, khalayak sudah bisa menghayati betapa ia tak menghormati tamu-tamu yang diundangnya ketika ia tanpa sungkan ‘tidak-cuti’ dan tetap bolak-balik melayani pembeli karena tetap buka toko. Bahkan sebenarnya ia sedang tidak menghormati pestanya sendiri.
Menghormati para tamu undangan itu juga berarti berusaha keras supaya bermacam hidangan bisa mencukupi semua undangan. Apalagi ‘kontribusi’ para tamu itu terkait dengan pesta itu tidak sedikit. Mereka para tamu sudah susah-payah memakai pakaian sesuai permintaan karena dalam undangan disyaratkan pakai pakaian tertentu. Bahkan pasangannya selalu mengingatkan supaya undangan dibawa, biar tidak ditolak masuk nantinya. Belum lagi tempat pesta yang tidak mudah dijangkau, misalnya. Meski begitu para tamu akan berusaha untuk datang tepat waktu sesuai dengan alokasi waktunya.
Tetapi bagaimana jika suasana pesta menjadi ‘muram’ karena hidangan dalam waktu singkat saja sudah habis? Bukan karena tamu undangan makan banyak tetapi ternyata si-tuan rumah juga mengundang banyak ‘tamu siluman’. Memakai pakaian seenaknya tidak sesuai dengan apa yang tertulis di undangan. Sodok-sana sodok-sini berebut hidangan. Jika ini terjadi, sekali lagi sebenarnya si-tuan-rumah sedang tidak menghormati pesta yang diselenggarakannya sendiri.
Maka di balik pesta ada hal penting, saling menghormati. Bukan hanya soal bersenang-senang, tetapi ada respek di situ. Bahkan jika itu pesta rakyat. Hadirnya ‘rakyat-siluman’, atau dibiarkannya ada yang begitu rakusnya berkali-kali menyerobot hidangan, dan tuan rumah yang sering meninggalkan gelar pesta karena tidak cuti, pastilah sebenarnya ia tidak paham apa yang sebenarnya ada di balik pesta itu. Maka jika tidak paham soal saling menghormati dalam gelaran pesta ini, janganlah bilang pemilihan umum sebagai sebuah ‘pesta demokrasi’. Bikin mules saja. *** (04-06-2019)