www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-06-2019

Mengapa sampai ada yang disebut sebagai Pancasila itu? Bahkan sampai hari ini. Kita adalah anak-anak-cucu-cucu-buyut-buyut dan seterusnya dari manusia-manusia yang hidup jauh sebelum kita ada. Dan yang hidup jauh sebelum kita itu sama sekali tidak mengenal apa yang kita sebut sebagai Pancasila itu. Yang membedakan adalah dalam rentang waktu tertentu pendahulu-pendahulu kita sepakat mendirikan sebuah negara yang merdeka, melalui Proklamasi 17 Agustus 1945. Maka wajarlah kemudian muncul pertanyaan, atas dasar apakah negara yang merdeka ini akan dijalankan? Dari percakapan-percakapan yang intens dan bermutu, disepakatilah apa-apa yang ada dalam Pancasila itu sebagai dasar bagaimana negara yang baru merdeka itu akan dijalankan. Yang nampak jelas jika kita membaca teks Pembukaan UUD 1945 terutama alinea ke-4. Nilai-nilai yang disepakati sebagai lima sila yang nantinya akan berfungsi sebagai ‘bintang-penuntun’ (leitstar) ketika negara dijalankan. Dijalankan oleh siapa? Dalam teks Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh ‘pemerintah negara Indonesia’. Bukan pemerintahnya Singapura, RRC, Amerika, atau lainnya.

Itulah kalau misalnya kita sedang terusik, bukankah manusia-manusia lain di luar republik juga ber-Ketuhanan Yang maha Esa? Juga berkemanusiaan? Mereka juga bersatu dan mempunyai denyut demokrasi perwakilan juga, dan punya tekad kuat pula soal rasa keadilan. Yang membedakan adalah kita sebagai bangsa mengharapkan negara dijalankan berdasarkan nilai-nilai tersebut. Yang mungkin saja berbeda dengan harapan-harapan manusia-manusia lain terhadap negara di mana ia tinggal. Tentu sebagai sebuah kesepakatan akan nilai-nilai yang akan menuntun sebuah organisasi bernama ‘negara’ itu punya batasannya. Di luar itu banyak hal tentunya yang merupakan kebiasaan-kebiasaan, keyakinan-keyakinan dan bermacam lagi yang merupakan nilai-nilai ‘di luar kesepakatan’ dan sudah hidup berpuluh bahkan beratus tahun lalu.

Maka jika ada pertanyaan, siapa yang pertama-tama mempunyai beban terberat dalam melaksanakan Pancasila? Jawabannya jelas, negara, atau tepatnya: penyelenggara negara.

Siapa penyelenggara negara? Mereka adalah orang-orang kongkret yang terpilih. Kongkret manusianya. Dan tidak pernah hilang terserap dalam bermacam institusi, lembaga, birokrasi. Sekali lagi, manusia kongkret. Dan memang hanya manusia yang berurusan dengan nilai-nilai. Binatang, mesin, institusi, tidak pernah berurusan dengan nilai. Dan ketika nilai-nilai menjadi semacam leitstar, bintang penuntun, dan bahkan tujuan (goal), maka diperlukan bermacam dorongan tertentu sehingga manusia bisa ‘tidak kehabisan energi’ dalam mengejarnya, dan itu adalah virtue.

Bicara soal virtue adalah bicara soal  kondisi excellent, menunjuk pada sebuah keutamaan. Menunjuk pada ‘manusia utama’. Atau kalau meminjam istilah Adam Smith, menunjuk pada sebuah ‘famous sect’ karena konteks bahasan kali ini adalah soal ‘penyelenggara negara’. Yaitu yang mampu mengembangkan diri pada keutamaan-keutamaan yang diperlukan dalam menapak jalan menuju realisasi nilai-nilai Pancasila.

Nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab memerlukan keutamaan atau virtue prudence atau phronesis. Pengalaman dan luasnya wawasan akan sangat mempengaruhi penghayatan akan ‘adil dan beradab’ ini. Sedang dalam persatuan, ada courage disitu. Ada keutamaan keberanian. Dalam kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, tanpa self-control yang kuat maka kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berpotensi besar akan menjauh. Dan itu ada dalam keutamaan atau virtue temperance atau sophrosyne. Sedangkan keadilan atau justice sebagai virtue, jika mengikuti Platon maka itu adalah ketika ketiga hal di atas bisa berkembang sesuai dengan ‘rute’-nya masing-masing. Dan bagi kita di republik, dinamika usaha manusia itu berjalan dengan penuh syukur atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-anugerahNya pada manusia. Dan sekaligus juga kita menghayatinya bahwa Tuhan Yang Maha Esa -lah yang Maha Adil, Maha Tahu.

Pancasila hari ini adalah yang lupa bahwa ia perlu manusia-manusia kongkret untuk mewujudkan nilai-nilai yang dikandungnya. Bagaimana meraba ini?

Bagi warga-negara di luar penyelenggara negara, tentu tidak dilarang jika mau mengadopsi nilai-nilai yang ada di Pancasila sebagai ‘bintang penuntun’ bagi dirinya. Bagi warga negara pada umumnya, menjalankan ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh penyelenggara negara sebenarnya sudah bisa dikatakan sebagai ‘menghayati dan mengamalkan’ Pancasila. Bahkan jika misalnya, ia tidaklah hapal utuh kata-per-kata dari Pancasila itu. Lalu dengan apa khalayak dapat menghayati jika ada sesuatu ‘yang salah’ dari pelaksanaan Pancasila? Dari bermacam virtue yang disebut di atas bisa dikatakan bahwa virtue keadilan-lah yang menempati urutan tertinggi. Dan jika kita mau meluangkan waktu, maka benarlah bahwa ‘di lapangan’ soal keadilanlah yang paling peka. Dan itulah ‘radar’ khalayak soal pelaksanaan Pancasila, ketika dirasakan hadirnya ke-tidak-adil-an.

Ke-tidak-adil-an yang semakin dirasakan oleh khalayak ini perlahan akan menumbuhkan pertanyaan, apa yang sedang menjadi dasar dari penyelenggara republik? Atau sebelumnya, jangan-jangan terlalu banyak penyelenggara republik yang berkeliaran tanpa keutamaan. Atau paling tidak, miskin keutamaan. Selfa-selfi, ona-anu, potong rambut sana-sini. Pecas ndahé, dab .... *** (01-06-2019)

Pancasila Hari Ini