26-05-2019
Peristiwa-peristiwa yang menguak ketika bermacam peristiwa mulai dirasakan banyak kemiripannya. Apa kemiripan dari ketika seorang petinggi lempar-lempar bingkisan ke rakyat dari jendela mobil yang sedang berjalan dengan ketika pembantu-pembantunya menjawab dengan kata-kata menohok ketika rakyat menanyakan kebutuhan dasar mereka? Atau lihatlah tragedi tenggelamnya kapal, dan ketika rakyat ingin melihat jasad saudara-saudaranya, dijawab aparat suruh nyelam sendiri. Atau pasca berkumpulnya massa yang meneriakkan ketidak-adilan, dan berujung banyaknya orang terluka dan bahkan ada yang meninggal, ada yang secara demontratif kemudian menari-nari. Sebelumnya beratus petugas pemilihan meninggal, apa yang sudah diperbuat oleh jajaran aparatus negara? Atau lihat juga pose para anggota KPU itu pasca mengumumkan hasil perhitungan di dini-hari. Dan terakhir, pucuk petinggi negara ini lebih memilih menerima yang dijarah harta bendanya dari pada yang dijarah nyawanya. Belum lagi jumpalitannya ‘percobaan-penjelasan’ soal bermacam peristiwa dengan penjelasan sekedar ala-kadarnya, dan bahkan seringnya cenderung mbèlgèdès sifatnya.
Jika kita lihat lebih dalam lagi kemiripan-kemiripan di atas, kita semakin merasakan bahwa ada denyut yang absence, yang tak tampak, tetapi perlahan semakin nampak ketika kita lihat dari berbagai sudut. Yang absence itu sayangnya adalah semacam pra-anggapan: hilangnya warga negara. Apa esensi dari warga negara? Sifat aktifnya! Modernitas tidak hanya melahirkan satu bentuk baru sovereignty, tetapi juga warga-negara. Warga negara yang aktif dan terbedakan dengan katakanlah ‘abdi-abdi’ atau bahkan properti dari para bangsawan dan raja-raja.
Memang ada yang mengatakan bahwa revolusi kaum borjuis-lah yang juga mendorong bentuk baru sovereignty dan merebaknya sifat aktif warga negara itu. Demi untuk mengimbangi kekuatan raja-raja. Jika itu benar, maka sekitar lima-ratus tahun kemudian, kita merasakan sekarang ini ‘arus-balik’-nya. Paling tidak jika kita memakai term Negri dan Hardt soal Empire. ’Kaum borjuis’ itu tidak hanya sekedar menikmati duduk sebagai yang ada dalam ‘dunia aristokrasi’, tetapi juga semakin aktif sebagai aristokrat, yang perlahan salah satunya mulai 'menarik' sifat aktif warga negara lagi. Yang mereka bayangkan sifat aktif itu sebagai ‘hadiah’ dari mereka, mereka tarik lagi, dan kembali menjadi sekedar ‘abdi-abdi’ dan bahkan properti mereka. Mereka mungkin tidak ingin terjebak dalam dialektikanya tuan-budak-nya Hegel. Yang awalnya dimaksudkan sebagai ‘budak-aktif-melawan-raja’ ternyata berubah menjadi ‘tuan-aktif’ yang mampu mendikte-mereka. *** (26-05-2019)