21-05-2019
Banality of evil sebagai istilah mencuat ketika Hannah Arendt membuat laporan persidangan Adolf Eichmann di Yerusalem atas kejahatan kemanusiaannya semasa Nazi berkuasa. Banalisasi kecurangan ditulis dengan mengambil inspirasi di atas, jika evil adalah ‘spesies’, kecurangan adalah ‘varietas’, bagian/cabang dari evil. Dan juga sama-sama berurusan dengan pembunuhan, yang satu pembunuhan dalam arti penghilangan nyawa manusia, satunya penghilangan atau juga pemanipulasian hak suara warga negara. Sama-sama evil-nya.
Pertanyaan bagi Arendt adalah mengapa ordinary people seperti Eichmann itu sampai bisa melakukan kekejaman di luar batas itu? Atau pertanyaan kita, mengapa banyak dari ordinary people kita banyak melakukan kecurangan? Jika dikatakan bahwa karena ini pemilihannya manusia dan bukan malaikat, itu barulah titik berangkat.
Bermacam kritik atas analisis banality of evil dalam kasus Eichmann tentu menjadi perhatian juga. Tetapi ada satu hal dari Arendt ini yang dapat jadi titik tolak pengembangan pemikiran, yaitu banality of evil yang dikaitkan erat dengan ketidak-berpikiran. Dan menjadi menarik jika kita lihat juga beberapa pemikiran Paulo Freire, yang dalam banyak hal juga erat terkait dengan ketidak-berpikiran.
Menurut Paulo Freire, manusia dengan kesadarannya dapat dibedakan antara yang berkesadaran semi-intransitif (magis), transitif –naif, dan transitif-kritis. Sekilas dari pembedaan tiga kesadaran ini, banality of evil akan lebih mudah berkembang dalam kesadaran semi-intransitif dan transitif-naif, terlebih ketika yang transitif-naif itu ‘gagal’ berkembang menjadi kesadaran transitif kritis. Dalam titik ini, fanatisme-lah yang akan menguasai. Tetapi benarkah kemudian yang berkesadaran transitif magis dan transitif-naif itu menjadi mudah melompat sebagai si-evil?
Jerman sebelum Nazi adalah Jerman yang kalah dalam Perang Dunia I, dan mempunyai bermacam kewajiban yang sungguh memberikan beban besar bagi pihak yang kalah. Tidak hanya masalah uang, tetapi juga retaknya moral bersama. Selain itu juga -tak terkecuali Jerman, banyak negara yang kena dampak Depresi Besar. Bermacam kehancuran itu akan memberikan situasi dimana sosok demagog seperti Hitler bisa menjadi mudah diterima. Dan seperti dikatakan oleh Rene Girard, kadang upaya yang dibangun oleh seorang demagog seperti Hitler ini pada titik tertentu memerlukan sebuah ‘kambing-hitam’ untuk menghindari ‘konflik-internal’. Ketika ketidak-berpikiran itu sebenarnya sedang ada pada sebuah ‘situasi-batas’ dimana ia pada titik itu harusnya memakai pemikiran mendalamnya untuk sebuah keputusan, tetapi dengan adanya otoritas yang terus-menerus menggebrak a la Joseph Goebbels itu (ingat percobaan Stanley Milgram), akhirnya ketidak-berpikiranlah yang lebih jalan, dan dengan ‘kambing-hitam’ seakan ‘disediakan’ di depan mata, sejarah mencatat genosida-lah ujungnya. Dan lahirlah si-evil itu. Evil yang telah berproses menjadi ‘normal’. *** (21-05-2019)