15-05-2019
Bagi Ernst Cassirer, kemanusiaan manusia tidaklah dapat diketahui secara langsung, tetapi ia dapat didekati melalui analisis dari bermacam simbol-simbol yang diciptakan dalam perjalanan sejarahnya. Manusia adalah animal symbolicum, demikian tegas Cassirer. Bermacam simbol yang akhirnya ‘terlempar’ dalam ‘dunia ke-tiga’-nya Karl Popper.
Simbol-simbol itupun berkembang sesuai dengan perjalanan sejarah manusia. Jaman dulu, di sementara belahan dunia orang-orang kaya dengan berstatus sosial tinggi adalah yang mempunyai banyak budak. Dengan dihapusnya budak, simbol-simbolpun bergeser. Dalam sebuah perjuangan di medan perang, sebuah bendera bisa bermakna begitu dalam dan membuat orang bersedia mati untuknya. Bukan pada ‘kain yang berbentuk bendera’ itu, tetapi makna yang ada di dalamnya. Juga bermacam lambang. Atau misalnya di sini, lambang negara, bendera, bahasa, serta lagu kebangsaan bisa dikatakan mereka ini adalah simbol negara republik. Mau presidennya si A atau si B, simbol negara tetaplah itu semua.
Jika kita bicara soal simbol di ranah negara, di ranah politik maka kita harus sedikit hati-hati. “All significant concepts of the modern theory of state are secularized theological concepts,” demikian menurut Carl Schmitt dalam Political Theology.[1] Lambang negara, bendera, bahasa dan lagu kebangsaan kadang terhayati sebagai ‘yang suci’, paralel dengan penghayatan terhadap yang suci dalam agama. Tetapi bagaimana jika akan dikonstruksi sosok personal sebagai salah satu simbol negara?
Presiden sebagai kepala negara memang semestinya dihormati, tetapi sebagai kepala pemerintahan ia akan dinilai sesuai dengan amanat konstitusi yang ada di Pembukaan UUD 1945, alinea 4. Mampukah ia melaksanakan perlindungan kepada seluruh bangsa dan tumpah darah? Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa? Mampukah ia berperan aktif dalam forum internasional? Hal-hal ini bisa menjadi semacam background pada yang bisa diraba oleh rakyat yang memilihnya, yaitu janji kampanye dan realisasinya.
Maka jika rakyat mengumpat karena merasa tidak terlindungi, merasa diperlakukan tidak adil, terbodohkan secara simultan, itu bukan berarti sedang tidak menghormati kepala negara, tetapi ia sedang menegur kepala pemerintahannya yang dirasa menyimpang dari amanat konstitusi. Jika di forum internasional dirasa mémblé, rakyat tentu boleh marah, boleh mangajukan kritik pedasnya. Dan itu sekali lagi, bukan berarti ia tidak menghormati kepala negara. Rakyat membuat satire, meme, dan bermacam lagi, itu juga bukan berarti ia sedang melecehkan kepala negara.
Tentu ketika seorang presiden sebagai kepala negara bertandang ke luar negeri misalnya, dan diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, kita akan marah. Sebab ia tidak hanya sosok pribadi saja, tetapi merupakan simbolisasi dari negara dan kehormatan bangsa. Bahkan ketika ia –si presiden, nampak seperti tidak bisa menghargai diri sebagai sebuah simbolasisasi dari negara dan bangsanya di luar negeri misalnya, tetap-lah kita akan terusik jika ia dilecehkan. Bahwa setelah ia pulang dan rakyat menegurnya, itu urusan ‘dalam negeri’, dan itu juga bukan berarti rakyat sedang melecehkan seorang kepala negara. Rakyat sedang menegur pemimpin yang dipilihnya. Pemimpin yang dirasa tidak bisa membawa martabat bangsa di forum internasional. Klimaks dari teguran ini adalah ketika tiba saatnya pemilihan, rakyat tidak akan memilihnya lagi. Kapok.
Rakyat menegur presiden ada dalam bayang-bayang amanat konstitusi. Masalahnya jika tidak hati-hati, respon terhadap teguran dalam bermacam bentuknya ini, bisa-bisa saja melampaui konstitusi. Pendapat dari Carl Schmitt di atas, “all significant concepts of the modern theory of state are secularized theological concepts,” patut dipertimbangkan sebagai yang bisa mewujud menjadi semacam ‘arketipe’-nya Gustav Jung. Yang dapat berfungsi -sadar atau tidak, sebagai 'legitimasi sekunder' yang itu akan mendorong 'kebekuan' dialog. Pemimpin bisa di-booster atau mem-booster dirinya sendiri menjadi layaknya sosok Tuhan yang suci tak tersentuh. Maka memang kualifikasi seorang pemimpin negara itu tidak boleh main-main. Jika minim kemampuan imajinasi, ia bisa bablas nyaman serasa sosok dewa tak tersentuh. Atau nyaman-nyaman saja dikonstruksikan seperti itu oleh interests group di-sekelilingnya. Repot karena bagaimana-pun masih diterima secara global, monopoli penggunaan kekerasan itu adalah ada pada negara. *** (15-05-2019)
[1] Carl Schmitt, Political Theology. Four Chapter on the Concept of Sovereignty, Trsl. George Schwab, The MIT Press, 1988, hlm. 36