www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-05-2019

Jika ada seorang anak sejak bayi diadopsi, dan dikukuhkan pula secara resmi melalui akte adopsi, bagaimana setelah besar nanti? Ketika orang tua penuh kasih sayang dalam membesarkan sebagai layaknya anak kandung, ia akan tetap menganggap orang tuanya sebagai ayah-ibunya sendiri. Apa yang dialaminya sejak ia masih bayi sampai dengan besar ini memberikan legitimasi terhadap sikap yang menganggap kedua orang tuanya itu sebagai ayah-ibunya. Juga tentunya akte adopsi yang secara legal memberikan perlindungan hukum bahwa mereka adalah orang tua sah si anak. Tetapi jika si-anak ingin mengetahui siapa sebenarnya ayah-ibu biologisnya, tidak ada yang bisa menghalanginya. Tentu pertama-tama ia akan melihat juga bukti legal melalui akte kelahiran. Dan jika ia ingin mengetahui lebih lanjut, ia-pun akan mencari mereka.

Seorang mahasiswa selama 4-5 tahun ia belajar keras dan akhirnya wisuda dan mendapatkan ijasah. Ketika si-A maju sebagai wisudawan terbaik, semua pasti akan menerima dengan ikhlas sebab selama 4-5 tahun itu bisa dilihat bagaimana kiprah si-A beserta nilai-nilainya setiap mid-semester, setiap semesternya. Penyerahan sertifikat sebagai wisudawan terbaik akan dirasakan sebagai ‘formalisasi legalistik’ saja dari perjalanan panjang selama 4-5 tahun. Beda misalnya ketika si-B yang selama 4-5 tahun nilai akademiknya pas-pasan saja, kiprah lainnya selama jadi mahasiswa ya biasa-biasa saja, tiba-tiba saja dipanggil naik podium sebagai wisudawan terbaik dengan tambahan narasi bla-bla-bla. Mungkin akhirnya si-B akan memegang sertifikat sebagai wisudawan terbaik dan dibawanya pulang untuk tambahan CV saat cari kerja, tetapi teman-temannya dan bahkan banyak dosen jika ditanya apakah si-B pantas memegang sertifikat sebagai wisudawan terbaik, mungkin sebagian besar dari mereka akan menjawab: tidak.

Mengapa kita bicara soal legalitas dan legitimitas dalam ranah negara? Jika kita memakai pembedaan 3 kekuatan dari Alvin Toffler, kekuatan pengetahuan, kekuatan kekerasan, dan kekuatan uang, maka menjadi semakin jelas mengapa kita mestinya bicara soal legitimitas dan legalitas ini. Negara akan selalu berurusan dengan kekuatan pengetahuan, bukan hanya dalam pengetahuan yang up-to-date, tetapi lebih dari itu, katakanlah kita memakai istilah cloud, seluruh pengetahuan sejak jaman pra-sejarah sampai dengan proklamasi dan berpuluh tahun setelahnya yang sudah ‘diunggah’. Artinya segala pengetahuan masa lalu, sekarang, dan (prediksi) masa depan. Pengetahuan yang akan sangat mempengaruhi suasana kebatinan bangsa, elan-vital bangsa, energi bangsa, dan seterusnya. Tidak bisa main-main dengan ini. Contoh ketika Obama mengambil sikap terkait dengan penolakan sementara warga atas rencana pendirian islamic center di ground zero. Penolakan Obama atas keberatan sebagian warganya terkait rencana pendirian islamic center itu jelas didasari akan pengetahuan mendalam tentang arah dasar pendirian Amerika. Pengetahuan akan sejarah pendirian AS itu telah mendorong keberanian Obama untuk mempertaruhkan popularitasnya.

Yang kedua soal kekuatan kekerasan, atau bisa dibaca terkait dengan ‘hak monopoli’ negara dalam penggunaan kekerasan. Bisa dibayangkan jika ‘hak dalam memimpin’ dimana di dalamnya ada ‘hak monopoli menggunakan kekerasan’ itu masalah legalitas dan legitimitas tidak komplet terpenuhi. Soal kekuatan uang, bayangkan berapa aset republik? Kekayaan alam, baik darat, laut, udara, dan termasuk juga letak geo-strategisnya. Beragamnya flora-fauna. Aset BUMN, dan banyak lagi. Dari ketiga hal di atas saja kita bisa membayangkan mengapa aspek legalitas dan legitimitas itu perlu kita dalami secara serius.

Legitimitas kalau kita bayangkan itu selalu melibatkan proses. Bahkan pembedaan Weber terkait soal legitimasi dalam sebuah otoritaspun akan segera nampak dibalik itu ada proses panjang, baik yang ‘rasional-legal’, karismatik, maupun yang tradisional. Tidak ada yang ujug-ujug. Atau coba kita bayangkan istilah hegemonia dalam jaman Yunani Kuno, yang berarti rights to lead, hak untuk memimpin. Legitimasi dari hak untuk memimpin itu berasal dari kontribusi, jasa-jasa dalam perang Yunani vs Persia waktu itu.

Masalahnya kita akan kerepotan jika berhadapan dengan para 'Machiavellis vulgar'. Bagi Machiavelli dalam analisisnya tentang power dalam The Prince, “there is no moral basis on which to judge the difference between legitimate and illegitimate uses of power,”[1] demikian dikatakan oleh Cary Nederman. Selanjutnya Nederman menegaskan: “Machiavelli says that the only real concern of the political ruler is the acquisition and maintenance of power.[2] Kerepotan yang langsung di depan mata ketika misalnya bicara soal pendapat  Jurgen Habermas yang ada di Beyond Facts and Norms seperti disampaikan oleh John P. McCormick: “Habermas would go to great lenghts to show that the substance of rational-legal legitimacy consists in the participation of citizens in the formulation of legal and constitutional norms.[3] Masalah yang akan merepotkan kaum 'Machiavellis vulgar' ketika apa yang disebut Habermas soal partisipasi itu akan mengganggu upaya mereka dalam ‘maintaining of power’.

Atau diam-diam ada yang meyakini apa yang pernah dikatakan oleh Carl Schmitt dalam Legality and Legitimacy seperti disarikan oleh McCormick: “Legitimacy depends not on the overt compliance of those over whom authority is exercise but rather on their choice not to resist such authority.”[4] Legality and Legitimacy ditulis Carl Schmitt dipenghujung hancurnya Republik Weimar di Jerman sono, sekitar tahun 1933-an. Dan kemudian melanjut ke totalitariannya Nazi dan Hitler. Yang dari kacamata verbal sesuai dengan disarikan oleh McCormick di atas, karena tidak ada yang resisten maka Nazi dan Hitler-pun menjadi legitimet adanya. Tetapi, kita toh boleh menelisik lebih lanjut mengapa tidak ada yang resisten? Setujukah citizens dengan Hitler baik karena efektifnya ‘manufacturing-consent’-nya atau lainnya? Takut karena ada ‘kelompok pakar yang akan menilai segala ucapan dari para tokoh oposisi’? Atau lainnya?

Kita berharap sejarah Republik Weimar yang berdiri 100 tahun lalu itu tidak berulang di republik yang kita cintai ini. Semoga. *** (12-05-2019)

 

[1] Cary Nederman, Niccolo Machiavelli, https://plato.stanford.edu/entries/machiavelli/

[2] Ibid

[3] John P. McCormick, Identifying or Exploiting The Paradoxes of Constitutional Democracy? An Introduction to Carl Schmitt’s Legality and Legitimacy, dalam Carl Schmitt, Legality and Legitimacy, Trsl. Jeffrey Seizer, Duke University Press, 2004, hlm. xv

[4] Ibid, hlm. xxiv

Legalitas dan Legitimitas

gallery/weimar republic

Republik Weimar, 1919-1933