04-05-2019
“Kami Ksatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan” adalah salah satu dari tujuh yang ada dalam Sapta Marga, salah satu dari kode etik prajurit TNI. Mengapa kita perlu belajar dari salah satu code of conduct dari TNI ini?
Salah satunya kita memang perlu sosok pemberani, sosok ksatria yang tidak suka ‘main-belakang’, pengecut-nusuk-dari-belakang, sebagai inspirasi. Terutama bagi anak-anak kita, generasi mendatang. Dalam gelar pemilihan, sifat ksatria ini sangat penting bagi semua stakeholders pemilihan. Dan terutama sebenarnya adalah bagi penyelenggara pemilihan, dimana mereka adalah sedikit dari kita yang menjadi si-terpilih, menjadi yang terhormat sebagai penyelenggara. Maka tidak berlebihan jika kita berharap ada sifat-sifat ksatria dalam diri mereka.
Bagi peserta pemilu, masalah kalah-menang tidak ada hubungannya dengan sifat ksatria, tetapi adalah apakah ia menang atau kalah melalui jalan ksatria. ‘Menapak jalan’ itulah yang mendasar, jadi bukan soal out-put, tetapi prosesnya itu di jalan ksatria atau tidak. Kalau proses berjalan di jalan ksatria, penerimaan kalah-menang itu sekedar lanjutannya saja. merepukan konsekuensi lanjutan yang tak terhindarkan. Tetapi jika jalan ksatria menjauh dan justru dekat dengan sifat kepengecutan dalam prosesnya dan secara potensial justru akan membuat out-put penuh dengan ketidak-adilan misalnya, maka jalan ksatria perlu ditempuh. Seperti kutipan salah satu Sapta Marga di atas, jalan ksatria “yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan” perlu ditempuh. Apapun resikonya.
Menang-kalah bagi seorang Musashi adalah sekedar buah hasil dari proses panjang ‘the way of samurai’. Musashi jelas sangat paham upaya-keringat-resiko ketika ia menapak jalan samurai-nya.*** (04-05-2019)