27-04-2019
Angka, jumlah memang bisa atau bahkan pada akhirnya menjadi penentu dalam ranah yang terbanyak yang menang. Bertambah dan berkurang-nya angka, jumlah, dalam perhitungan semakin dirasakan akhir-akhir ini bukan lagi sekedar masalah angka lagi. Bagi paradigma ‘minimal-state’ yang menjadi bagian paradigma neoliberalisme, bahkan fungsi negara sebagai ‘penjaga-malam’-pun vital. Dia, negara, yang memastikan terlindunginya bermacam akumulasi kekayaan untuk tidak dicuri saat warga tidur di malam hari. Kekayaan yang sudah diperolehnya di siang hari saat pintu pasar bebas survival of the fittest dibuka untuk bermacam ‘pertarungan’. Apalagi dari sudut yang ingin mengoreksi paradigma ‘minimal-state’ itu. Ada masalah martabat, wibawa negara di situ.
Dari mana warga negara bisa merasakan martabat atau wibawa negara itu? Menurut Harold J. Laski tidak ada jalan kecuali melalui penyelenggara negara. Maka ketika semakin dirasa angka atau jumlah yang diperoleh dari ‘coblosan-di-pasar-bebas-suara’ itu di-sana-sini dan semakin hari semakin terkuak ‘dicuri’ dengan bermacam modusnya, martabat-wibawa si-penyelenggara negara itupun perlahan dihayati sebagai yang gagal memberikan rasa aman. Semestinya ketika siang warga datang mencoblos, malamnya ia bisa tidur nyenyak karena penyelenggara negara akan menjalankan fungsi ‘penjaga-malam’-nya dengan baik. Tetapi kenyataannya? Warga tidak hanya satu-hari meronda perolehan suara, tetapi berhari-hari, bahkan diperkirakan bisa sampai satu bulan penuh.
Kegagalan penyelenggara negara dalam konteks di atas sebenarnya bukanlah soal terkait pemilihan semata. Ini memberikan gambaran sebenarnya apa-siapa-dan-bagaimana sebenarnya karakter penyelenggara negara yang sedang beredar sekarang ini. Karakter yang justru suka ‘main-belakang’ layaknya seorang pencuri ketika warga tidur di malam hari. Inilah sebenarnya esensi dari pemburuan-rente (rent seeking activity) yang merupakan ‘kegiatan-pokok’ kaum oligark itu. Jika sebagian dari hidup bersama itu kita sebut pasar, pasar yang esensinya adalah merupakan mekanisme pembagian kekayaan, pembagian kekayaan itu akan berjalan kesrimpet-srimpet demi dominasi para oligark-pemburu rente itu. Bahkan dalam pasar ‘kapitalisme-Adam Smith’-pun ia akan terasa tertatih-tatih.
Ketika Perguruan Tinggi dan Rumah Sakit sebagai contoh, harus diakreditasi, KPU tidak membuka diri untuk melakukan ‘standarisasi’ bahkan ketika sebelum coblosan sudah diberi masukan oleh pakar. Dan ketika bermacam ‘kesalahan’ dan peristiwa yang mengindikasikan adanya kecurangan muncul, respon dari komisioner KPU itu lebih dalam ranah ‘ngelèsologi’, endo-isme, respon ala-kadarnya. Tidak hanya KPU yang ber-respon seperti ini, tetapi ternyata juga para stakeholders yang ada di ranah penyelenggara negara.
Maka seiring waktu berjalan, seiring dengan semakin banyak ‘hal-aneh’ dalam penghitungan suara dan peristiwa di sekitarnya terkuak, dan respon dari penyelenggara negara yang cenderung ala-kadarnya itu, bukan lagi hal-hal yang nampak dalam angka, dalam jumlah, yang kemudian dihayati khalayak. Tetapi semakin nampak ini kemudian menjadi masalah ‘perut’. Tidak hanya kekacauan perhitungan yang masuk dalam ‘intersubyektifitas’ khalayak, tetapi juga masalah seperti di sebut di atas. Masalah kesempatan ‘pembagian kekayaan’ melalui pasar yang tergambarkan akan semakin kesrimpet-srimpet ketika angka-angka itu ditelikung secara brutal.
Terbayangkan ketidak-adilan itu akan mengganggu jalan kemakmuran bersama. *** (27-04-2019)