26-04-2019
“Justice is nothing other than the advantage of the stronger," demikian dikatakan oleh Thrasymachos lebih dari 2000 tahun lalu. Sebenarnya ini bukan definisi Thrasymachos soal keadilan, tetapi sayangnya banyak yang begitu ‘meyakininya’ di bermacam belahan dunia. Paling tidak itu mewujud dalam praktek dengan berbagai modifikasinya, entah ia mengenal Thrasymachos atau tidak. Tentu banyak pendapat kontra dengan apa yang dikatakan oleh Thrasymachos di atas. Kutipan ucapan Thracymachos di atas disampaikan untuk sebagai titik tolak, jangan-jangan itulah asumsi dasar sehingga bermacam peristiwa republik yang bisa dilihat sebagai ‘sandera-kasus’ itu mewujud.
Jika kita memakai ‘perdebatan’ soal keadilan di masa Yunani Kuno itu, pendapat Platon mungkin bisa sebagai titik tolak lain. Berangkat dari tripartit jiwa Platon, keadilan adalah ‘efek samping’ ketika ‘paralel’-nya tripartit jiwa dalam polis itu bertindak sesuai dengan tugas atau fungsinya. Dalam polis akan ada yang berfungsi sebagai pedagang, petani. Ada yang berfungsi sebagai prajurit, dan ada juga yang sebagai ‘filsuf raja’. Ketika masing-masing menjalankan fungsinya sesuai dengan posisinya dalam polis maka menurut Platon keadilan akan menampakkan wujudnya.
Jika kita lihat lebih jauh, tripartit jiwa Platon itu bicara soal hasrat, dimana gejolak hasrat itu semestinya ada dalam ‘kendali’ rasio disamping masih-masing bagian jiwa itu juga mempunyai keutamaan-keutamaan masing-masing. Dalam perkembangannya gejolak hasrat ini banyak yang meyakini tidak cukup hanya soal pengendalian diri yang sifatnya lebih pada ‘pengendalian diri internal’. Maka berkembanglah alternatif lain, hasrat dibenturkan hasrat lainnya. Tria Politika-nya Montesqueu juga sebenarnya berkembang dari pengendalian hasrat yang dibenturkan dengan hasrat lainnya. Maka jika kita bicara soal keadilan-nya Platon dimana adil itu ketika masing-masing melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya, dalam realitas jaman sekarang itu tercapai karena ‘benturan’, dan bukan semata ‘maksud baik’ saja.
Tetapi jika kita lebih dalam lagi maka sebenarnya ‘maksud-baik’ itu justru yang primer. Mengapa? Karena kita bicara soal pemimpin. Kita bicara soal kualitas pemimpin dengan keutamaan yang lebih dari sekedar ‘mere proprierty’ saja, lebih dari ‘sekedar-kepantasan’. Salah satunya adalah terkait dengan pentingnya kualitas dalam menghayati ‘mekanisme-benturan’ dalam pengendalian hasrat itu. Lihatlah teori perkembangan moral dari Lewrence Kohlberg itu, bukankah semakin tinggi tingkatan moral semakin tinggi pula ‘tingkat pengendalian diri’ atau self command-nya?
Kembali ke kutipan pendapat Thrasymachos, “justice is nothing other than the advantage of the stronger," seperti di atas. Dan bukankah reformasi ingin menggeser keadilan kepada lebih mendekat pada konsep keadilannya Platon? Lihatlah kembali tuntutan-tuntutan saat itu, soal KKN, korupsi, dan demokrasi! Masalahnya adalah seperti dikatakan oleh Jeffrey Winter, hancurnya sebuah rejim itu tidaklah sama dengan hancurnya para oligark. “The stronger” jaman Orba adalah sifatnya unipolar, dan di era reformasi ini semakin tampak, terlebih di lima tahun terakhir ini, kembalinya “the stronger” dalam bentuk multi-polarnya. Dan sayangnya, “the stronger” yang jaman Orba yang masih lekat erat ada di tangan kuda putih dalam Allegori Kereta Perang-nya Platon, sekarang dapat dirasakan sebagai multi-polaritas-nya si kuda hitam. Si-kuda putih yang lebih mau (potensial) mendengar kata sais-si-bijak, dan kuda hitam yang cenderung semau-maunya sendiri saja dan cenderung meluncur ke bawah.
Multi-polaritas ”the stronger” ini akhirnya perlahan membangun ‘aturan-main’ sendiri. ‘Undang-undang dasar’ sendiri di dalam republik, dan itulah yang sering kita dengan sebagai ‘sandera-kasus’. Sebuah mekanisme yang sebenarnya rapuh ketika tidak ada kepemimpinan yang kuat. Inilah sebenarnya mengapa jika bicara ‘rantai-terlemah’ dalam konteks ini, ia ada pada figur Jokowi sebagai presiden. Sayangnya masalahnya tidak sekedar berhenti soal Jokowi, tetapi adalah ketika figur kuat itu ada yang membayangkan bagaimana jika itu berasal dari negeri seberang, misalnya. “Sultan”nya –meminjam term Jeffry Winters dalam buku Oligarki-nya, ada di ‘negeri seberang’. Mungkinkah itu? Atau, anda yakin itu tidak sedang ‘berproses’?
Inilah pertaruhan ketika ‘the stronger’ itu adalah ber-ekor-ekor kuda hitam. Si kuda hitam yang menurut Platon mempunyai karakter ugal-ugalan dan cenderung selalu menggèrèt, menarik ke bawah.
Jika memakai skala ‘pelembagaan’ aturan main ‘sandera kasus’ adalah 0-10, kita bisa bayangkan bahwa proses itu (sayangnya) sudah sampai pada titik 7-8. Belum selesai proses itu bergulir, kita sudah menghadapi proses ‘pelembagaan’ mbèlgèdès lainnya, yaitu institusionalisasi dari ‘kecurangan’. Rusak-rusakan total. Bangsat! *** (26-03-2019)