24-04-2019
“Sing waras ngalah,” kadang muncul dalam perbincangan. Mungkin ungkapan itu lebih akan muncul dalam masyarakat dengan nuansa gemeinschaft dimana nuansa harmoni akan lebih kental jika dibanding masyarakat gesselschaft. Atau dengan gaya lain Mangunwijaya pernah melontarkan istilah politik everybody happy.[1]
Pemilihan dengan basis ‘yang terbanyak yang menang’ jelas sebenarnya lebih menggambarkan kedekatan pada masyarakat gesselschaft. Sedang musyawarah-mufakat condong ke gemeinschaft, atau masyarakat paguyuban yang pengindonesiaannya ini sudah menunjuk pada sebuah keguyuban, keselarasan, harmoni. Tentu bukan berarti pemilihan dengan basis ‘yang terbanyak yang menang’ itu tidak bisa dijalankan oleh masyarakat gemeinschaft, kita sebagai masyarakat yang mungkin lebih condong pada masyarakat gemeinschaft ternyata bisa melaksanakan dengan baik pada pemilu-pemilu pasca reformasi 1998.
Tulisan ini lebih menyoroti yang menghangat akhir-akhir ini, soal ketelanjangan kecurangan. Yang semakin nampak adalah bukan sekedar ketelanjangan kecurangan itu, tetapi adalah respon terhadap reaksi atas berbagai kecurangan itu. Semakin nampak bagaimana yang mempermasalahkan bermacam kecurangan itu perlahan diposisikan sebagai ‘yang merusak harmoni’. Tentu ini juga diiringi dengan bermacam ‘pancingan’ yang ditujukan supaya yang sedang bereaksi soal kecurangan itu menjadi nampak bereaksi berlebihan. Membangun opini dengan memanfaatkan sesuatu yang bernilai dalam masyarakat yang lekat dengan nuansa gemeinschaft: harmoni. Opini yang sedang tidak puas itu sebagai yang ‘merusak-harmoni’.
Jadi bukan hanya ‘keselarasan rasional’ dari quick count ke real count saja yang dibangun, tetapi juga terkait dengan ‘keselarasan emosional’ komunitas. Hal yang sangat mungkin dibangun melalui bermacam media mainstream yang ada dalam genggaman tangan. Maka waktu menjadi ‘basis-permainan’ yang sangat penting. Ajakan mau bertemu makan malam misalnya, atau term rekonsiliasi dari sisi lain dapat dilihat bahwa yang tidak mau ketemu, yang tidak mau diajak rekonsiliasi itu adalah pihak yang ‘congkrah’, yang tidak mau menjaga harmoni. Yang dari segi outcome ‘langkah-catur’ ini sebenarnya sama dengan omongan-omongan seperti ‘boikot masakan Padang’, dan sejenisnya yang jika dilihat lebih jauh lagi, apa bedanya dengan ujar-pethakilannya Abu Janda, Ngabalin atau Ruhut Situmpol? *** (24-04-2019)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/166-Bukan-Untuk-Everybody-Happy/
https://twitter.com/MbahUyok/
status/1121199083413065728
25-04-2019