23-04-2019
Bagi yang punya satelit, tidak perlu melepas drone untuk memotret situasi ketika begitu banyaknya manusia berkumpul di satu tempat. Ukuran besarnya kumpulan di beberapa Aksi Bela Islam dan reuninya, pengajian UAS, sampai dengan kampanye-kampanye di berbagai tempat mestinya telah masuk dalam peng-arsipan mereka. Dengan pantauan satelit misalnya, mereka pasti tahu kampanye siapa yang lebih banyak didatangi oleh masyarakat. Dan dengan itu pula salah satunya mereka membuat indikasi-indikasi. Tetapi secanggih apapun itu satelit masih belum bisa memotret mengapa banyak orang mau berkumpul itu. Atau alasannya. Karena senang? Ada gelora di hati? Dibayar? Adanya ancaman sana-sini? Iming-iming transport dan nas-bung? Dan masih banyak lagi.
Bersih Setelah Aksi (BSA) vs Kumuh Setelah Coblosan (KSC) bukan ingin melihat dari satelit nun jauh di lintasan orbit sana, tetapi lebih ingin memotret bermacam potensi, dari dekat. Satu hal yang menarik di tahun-tahun terakhir ini adalah fakta berkumpul-nya jutaan manusia di satu tempat dan dalam waktu singkat tempat itu kembali bersih setelah aksi! Dan kejadian tidak hanya sekali saja, tetapi berkali-kali! Jangan sekali-kali menganggap remeh hal ini, dan coba bandingkan ketika ada kumpulan manusia ‘lain’ yang jumlahnya jauh lebih sedikit ternyata menyisakan bermacam sampah berserakan tanpa peduli, misalnya.
“Man is essentially a story-telling animal,” demikian Alasdair MacIntyre dalam After Virtue. ‘Dan di mana aku berposisi atau menempatkan diri dalam story-telling itu’ merupakan kelanjutan dari pendapat MacIntyre tersebut. BSA seperti disebut di atas nampaknya ada bertali-erat dengan story-telling yang terbangun. Bukan hanya soal ‘marah’, tetapi juga story-telling soal ‘harga diri’.
Tetapi jauh sebelumnya, Baruch Spinoza menandaskan bahwa: “Desire is the very essence of man.” Bagi Spinoza dan beberapa pemikir lain, gejolak hasrat, gejolak emosi tidak bisa dihilangkan, dia akan terbantukan dalam pengendalian salah satunya adalah dengan menabrakkan dengan hasrat lain. Hasrat vs hasrat. BSA adalah salah satu contoh berhasilnya ‘hasrat vs hasrat’ ini. Tidak ada yang salah dengan sebuah kemarahan, masalahnya bukan boleh atau tidak marah, tetapi pantas (proper) atau tidak pantas (improper). Kepantasan yang disandingkan dengan ‘penyebab kemarahan’. Jika kemarahan dirasa melebihi dari penyebab, maka itu adalah tindakan marah tidak pantas lagi. Tetapi bagaimana jika orang dalam kumpulan, manusia-dalam-massa? Kadang rasionalitas menguap begitu saja. Dan disitulah peran Aa Gym dengan sapu lidinya datang ke kerumunan mengajak untuk bersih-setelah-aksi. Gejolak hasrat kemarahan, emosi yang mendidih dilawan dengan sebuah hasrat akan harga diri. Dan berhasil! Bahkan menjadi sangat produktif. Dan perlahan-pun story-tellingpun berkembang. Marah adalah energi penuh daya ledak dan bayangkan jika manusia tidak punya anugerah marah ini! Loyo! Dan Aa Gym sungguh instingnya tepat, dengan sapu lidinya ia ikut mengembangkan secara signifikan story-telling sehingga kemarahan itu bisa tetap proper. Ledakan energi itu tetap mendorong hal-hal produktif.
Fahri Hamzah benar ketika melihat kemungkinan ada orang yang berslogan: “Biar curang asal menang dari pada jujur tapi kalah.” Cobalah kita lihat ujar dan pethakilannya orang-orang seperti Abu Janda, Ngabalin, Ruhut Sitompul dan sejenisnya. Kebetulan sajakah yang seperti ini hadir di ruang publik? Inilah sebagian kecil saja yang sebenarnya ikut terlibat dalam memberikan background hadirnya slogan yang disinyalir oleh Fahri Hamzah di atas. Soal rasa-merasa yang sudah dipersiapkan. Soal story-telling yang akan melanjut pada sekuel story-telling sejenis pada waktunya. Story-telling yang pekat ‘berbau-anarkis’ di sana-sini.
Maka benarlah jika ada yang bilang “wis wayahé’, sudah waktunya. “Wis wayahé’ untuk apa? Untuk ‘sing waras ojo ngalah’! Sejengkalpun, ‘ojo ngalah’..... *** (23-04-2019)