19-04-2019
Di penghujung dekade 1960-an dan dekade 1970-an, Alvin Toffler sudah mengendus bagaimana informasi akan banyak membentuk hidup manusia. Itulah mengapa buku pertama dari triloginya berjudul Future Shock (1970). Sebuah ‘syok’ bagi yang tidak siap menghadapi terjangan kekuatan informasi. Tesis ini terus berkembang dalam dua buku selanjutnya. Dan pada buku ke-3, Powershift (1990) Toffler menggambarkan bagaimana informasi itu telah mampu mendorong suatu pergeseran power. Contoh misalnya, dengan ditemukan bar-code dan bar-code-reader, perlahan ada pergeseran dari produsen ke retailer. Yang paling cepat tahu apa yang sedang dimaui oleh konsumen dengan bantuan bar-code dan reader-nya itu, ya retailer.
Dan sekitar dua dekade berikutnya, masuk pada abad XXI yang sudah diprediksi Toffler sebagai bagian nyata dari Revolusi Informasi, berkembang dan semakin merebak ‘toko-toko-online’. Apa akan terjadi ‘powershift’ lagi? Mungkin. Tapi yang ingin dilihat di sini adalah ke-langsung-an, atau semakin pendeknya rantai distribusi yang difasilitasi oleh kemajuan teknologi. Sama halnya dengan meningkatnya intensitas keterhubungan yang banyak mendasari perhitungan tentang globalisasi.
Tidak hanya itu, bahkan kemajuan teknologi-pun telah mampu menggali informasi-informasi masa lalu dengan teknologi LIDAR yang mulai digunakan di bidang arkeologi. Atau lihatlah, bahkan mungkin kampanye di GBK beberapa waktu lalu misalnya, ia dapat dipantau langsung via satelit yang dikendalikan di AS sana. Atau di pusat kendali tempat lain. Keterbukaan informasi sudah sedemikian terbukanya, sulit bagi kita misalnya untuk berperilaku kucing-kucingan.
Hal-hal di atas hanya sedikit ingin memberi gambaran bagaimana anak-anak kita sekarang ini, atau generasi milenial itu hidup dalam sebuah lingkungan yang mungkin saja sangat berbeda ketika kita seusia mereka. Mereka tentu punya gambaran-gambaran tersendiri tentang satu hal. Contoh, soal demokrasi, atau salah satu gelar pemilihannya. Maka tidak mengherankan jika generasi milenial ini menjadi sensitif terhadap penjungkir-balikan fakta. Meski tentu kadang mereka sering tanpa sadar menjadi korban dari bermacam penjungkir-balikan fakta yang dibombardir lewat dunia digital-internet. Tetapi itu tidak kemudian serta-merta mengurangi ke-sensitif-an terhadap penjungkir-balikan fakta. Atau dalam pemilihan, kecurangan.
Tak mengherankan pula, terkait dengan banyaknya penjungkir-balikan fakta di dunia digital-internet ini ada yang kemudian memprediksi hadirnya era baru, era reputasi. Dan itulah yang dilakukan anak-anak muda generasi milenial terkait dengan gelar pemilihan saat ini. Karena ke-sensitif-an mereka maka mereka tanpa dibayar-pun mau bersusah-payah melawan bermacam bentuk kecurangan. Mereka membayangkan ada reputasi dalam pemilihan. Caranya mereka melawan? Dengan ‘produk milenial’-lah mereka melawan, informasi via digital-internet dengan difasilitasi smart-phone.
Tidak seperti KPU yang bertahap, mereka mem-by-pass informasi dengan langsung ke ‘pusat’. Difoto, divideo dan lain-lainnya, dan itu langsung dikirim.
Kompilasi dari asal katanya juga mengandung arti “to collect and present information from authentic source’, dan kemudian yang sudah dikumpulkan itu ‘diarsipkan’ bersama. Dalam seni musik banyak kita temui di toko-toko kaset misalnya, kompilasi lagu-lagu kenangan tahun 70-80. Atau juga di Youtube. Atau kompilasi gol-gol indah dari Chelsea FC, Messi, Ronaldo dll.
Dan bayangkan jika apa-apa yang secara otentik on-the-spot, baik data maupun kecurangan yang dipotret oleh para ‘demokrat-milenial’ ini kemudian dibuat kompilasinya! Kompilasi data yang akan melawan penjungkir-balikan fakta. Kompilasi kecurangan yang akan menghancurkan ‘reputasi abal-abal’. *** (19-04-2019)