19-04-2019
Bagi Amartya Sen, keberhasilan Jepang dalam mengembangkan pasar bebas sebagai salah satu rute hidup bersama tidak hanya sekedar hitung-hitungan investasi, tabungan atau bermacam variabel yang serba ‘terukur’. Sen menunjuk seperti yang ditulis oleh Michio Morishima soal ‘japanese ethos’ sebagai salah satu faktor signifikan dalam keberhasilan Jepang. China yang sedang menggeliat sekarang ini-pun juga banyak mengintrodusir yang tidak jauh dari posisi ‘japenese ethos’ itu, yaitu patriotisme.[1]
Proses gelar pemilihan dalam ranah demokrasi-pun sebenarnya tidak jauh dari ‘gelar pasar bebas’. Pemilih adalah ‘konsumen’ yang secara bebas akan menentukan pilihannya. Para kontestan dengan bermacam strategi dan taktiknya menawarkan diri layaknya sebuah ‘produk’. Mesin-mesin partai, relawan-relawan, media mainstream, media sosial, dan temu langsung baik dalam skala antar individu, kelompok kecil-sedang di ruang tertutup, sampai dengan dalam ukuran gigantis di stadion adalah bermacam cara bentuk ‘distribusi’. Bermacam ‘yang serba terukur’-pun ikut terlibat, dan keterukuran itu salah satunya mewujud dalam hasil olah metode ilmiah dalam bermacam survei, misalnya. Tetapi seperti sudah disampaikan di awal tulisan, banyak hal juga ‘yang tidak terukur’ terlibat dalam gelar pemilihan. Ada loyalitas, ada kecintaan akan bermacam hal, dan bermacam lagi. Salah satu yang akan dilihat di sini adalah kecintaan akan republik yang mewujud pada keinginan kuat menolak bermacam kecurangan. Para ‘patriot’ yang sungguh ogah akan kecurangan.
Mereka mungkin menyebut sedang ada dalam ranah ‘patriotisme data’. Hal yang sebenarnya muncul juga dalam narasi salah satu cawapres Sandi soal ‘patriotisme data’ terkait dengan buyback Indosat. Jika kita ingin mengoptimalkan gelar pemilihan sebagai bagian akan kecintaan terhadap republik, kemajuan republik, mereka ingin data-data itu mampu menampilkan wajah kejujuran. Mereka tidak memanggul senjata berat, tidak melatih diri ala militer, tetapi dengan smart-phone di tangan mereka -tanpa dibayar , ingin berkontribusi dalam memajukan republik. Jika kita lebih jauh lagi melihat, ini sebenarnya bisa disebut sebagai ‘revolusi mental’ dalam praktek. Dan bukan hanya berhenti pada adanya website doang.
Tentu politik dan terutama dari yang selalu mendekap erat teori-teori dari ‘lembah kegelapan’ akan ikut mewarnai dinamika pemilihan ini. Tetapi jika mereka tidak tahu batas, sadar-atau-tidak-sadar bisa-bisa mereka justru mewujud sebagai ‘pembajak-pembajak’ merekahnya ‘revolusi mental’ dalam praktek ini. Di beberapa literatur dan seperti sudah ditulis di awal tulisan, geliat RRC tidak lepas dari ‘ramuan’ antara profesionalisme dan patriotisme. Tidak jauh dari rute yang ditapak Jepang, itu jika kita ambil contoh dari beberapa pengalaman negara-negara Asia. Mungkin mereka adalah pendukung calon tertentu, tetapi lepas dari itu, berusaha memotret dengan smart-phone data di TPS misalnya, dan dengan ‘susah-payah’ ingin menyetor data tersebut ke ‘pusat’ adalah bukan semata karena soal dukung-mendukung, tetapi yang absence dan perlu kita perhatikan: kecintaan mereka akan republik dan harapan berkembangnya profesionalisme. Sebuah patriotisme dan profesionalisme yang telah menjadi sebagian ‘resep’ penting di banyak negara dalam menggapai kejayaannya.
Maka ketika yang sedang berkembang-merekah itu akan dibajak oleh laku curang, telikungan licik dengan mengatas-namakan segala yang terukur itu, kita patut untuk mengambil sikap. Sains dalam sejarahnya sering hampir mirip dengan ‘senjata’, yang mana ungkapan ‘man behind the gun’-pun akan tidak pernah lepas dari sains. Ketika merebak apa yang disebut oleh Benda sebagai pengkhianatan kaum intelektual itu merebak, senjata itu bisa melukai-mematikan siapa saja. Termasuk di sini misalnya, generasi-generasi milenial yang sedang merekah dalam menghayati patriotisme dan profesionalisme secara bersamaan itu.
Kalau dulu di awal-awal berkembangnya internet Manuel Castells menyebut Zapatista sebagai yang pertama-tama menggulirkan strategi-taktik perjuangan lewat internet, kita berharap apa yang dilakukan generasi milenial berjuang melalui smart-phone dalam dunia media sosial ini juga merupakan sebuah perjuangan akan kecintaan terhadap republik. Kalau salah satu musuh Zapatista adalah para tuan-tuan tanah, maka di republik sekarang ini musuh-musuh yang dihadapi ‘gerakan smart-phone’ ini adalah para tuan-tuan pembajak-manipulator data. *** (19-04-2019)
[1] Lihat salah satunya, https://www.bloomberg.com/news/articles/2017-09-26/china-tells-entrepreneurs-they-must-put-patriotism-over-profit