04-04-2019
“A Theory about the stars never becomes a part of the being of the stars. A Theory about man enters his consciousness, determines his self-understanding, and modifies his very existence”
Abraham J. Heschel, Who is Man? 1963, Hlm. 8
Mengingat kutipan pendapat Heschel di atas, mari kita bayangkan, bagaimana jika kelompok pengaruh itu bacaan teori-nya adalah teori-teori politik yang berasal dari ‘lembah-kegelapan’?[1] Dimana asumsi dasarnya tentang manusia itu adalah pada dasarnya jahat, buruk, egois. Atau sebaliknya bagi yang bacaan teorinya dari ‘lembah-terang’ yang berasumsi manusia itu pada dasarnya baik dan selalu siap bekerja sama?[2] Dan bagaimana ketika mereka akan berhadapan dengan khalayak? Khalayak yang secara umum dapat dibedakan terkait dengan kekuasaan, khalayak dengan power distance yang tinggi dan yang rendah?[3]
Tahun-tahun terakhir, dan terlebih semakin mendekat pada pertengahan bulan April ini, semakin terasa bagaimana dampak dari asumsi-asumsi tersebut dalam hidup berbangsa kita. Tetapi meski begitu kita harus hati-hati dalam menyikapinya agar tidak ikut-ikutan larut dalam ke-ugal-ugalan ‘mereka’. Sebaiknya dua macam asumsi yang nampak ‘bertabrakan’ itu kita pandang bukan sebagai dua hal terpisah, tetapi sebagai satu masalah bersama.
Katakanlah kita sedang jatuh cinta, sedang mencinta seseorang. Segala bentuk baik kita senandungkan, tetapi yang harus diingat adalah, dalam cinta sendiri itu ada hal yang bisa dikatakan sebagai non-cinta. Misal ketika nafsu bergejolak dan akhirnya jatuh dalam pemaksaan kehendak atau jatuh pada tindak melecehkan, tidak menghargai. Ternyata cinta dapat berubah bentuk menjadi ‘anti-cinta’. Maka cinta akan semakin maju jika si-A misalnya, ia selalu berusaha untuk men-tidak-kan bermacam anti-cinta itu. Berusaha untuk tidak terjerumus pada nafsu buta misalnya. Dengan itu maka cinta A pada si-B akan semakin maju berkembang.
Maka ketika kita meyakini bahwa manusia itu pada dasarnya baik, dan ketika kita menolak adanya hasrat manusia yang punya potensi besar untuk tak terkendali, maka pada saat itu juga sebenarnya kita sedang menggali kubur sendiri. Sebaliknya jika ada yang berkeyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu jahat, egois, dan menolak kemungkinan bahwa ada sisi bahwa manusia itu pada dasarnya baik dan siap bekerja sama maka ia juga sedang membawa hidup sama pada sebuah potensi situasi anarki, brutal. Lalu dimana atau apa sebagai titik pijak untuk menghadapi dua asumsi tentang manusia ini sehingga hidup bersama bisa semakin maju?
Inilah sebenarnya, seperti sudah disinggung di beberapa tulisan sebelumnya, pentingnya pengetahuan akan ‘batas’, tahu batas. Frasa ugal-ugalan yang disinggung di sini adalah menunjuk ketidak-tahuan akan batas itu. Dengan pengetahuan akan batas maka akan dapat melihat secara jernih ‘apa yang semestinya’ ada dengan ‘apa yang nyata’ sedang dihadapi. Termasuk juga jika ia seorang pemimpin, ia mampu membaca dan mengenali gejolak hasrat yang ada dalam dirinya.
Seorang pemimpin tentulah perlu ‘citra-diri’ yang mungkin bisa dibangun salah satunya melalui pencitraan. Tetapi jika kemudian ‘kebablasan’ dalam hal pencitraan ini maka kita bisa bertanya, tahukah dia soal ‘batas’ ini? Kalau dalam hal ‘sekecil’ ini saja ia tidak tahu batas, sungguh malang jika kita ada dalam ranah ‘kepemimpinan’nya. Orang Jawa bilang ‘ngono yo ngono ning ojo ngono’ adalah juga bicara soal batas itu. Atau juga kalau kita bilang etika misalnya, itu juga bicara soal batas.
Bicara soal ‘tahu-batas’ ini, terlebih pada sosok pemimpin maka harus disadari bahwa itu bukanlah sesuatu yang mudah. Dan akan semakin sulit jika ‘kondisi sosial’ tidak ‘mendukung’nya. Apalagi jika dalam masyarakat yang ‘power distance’-nya rendah. Tentu kita bisa menghimbau dan mengusahakan untuk mengembangkan sikap kritis pada penguasa misalnya, tetapi jika penghayatan akan batas tidak berkembang maka kesulitan jelas terbayang di depan mata. Salah satu ‘proyek-jangka-panjang’ terkait ini adalah ‘pendidikan eros’[4] sejak dini. Dalam pendidikan eros, tidak hanya peka akan hal-hal baik tetapi juga perlahan akan semakin paham soal batas ini, batas antara hal yang baik dan jahat, indah dan buruk, dan sebagainya. Jika ini berkembang maka khalayak akan menjadi lebih peka jika si-pemimpin menjadi tidak tahu batas.
Pendidikan eros yang bisa berujung seperti disebut di atas, jelas tidak akan berkembang jika hidup politik lebih didominasi oleh kekuatan uang, atau sang kuda hitam dalam Alegori Kereta Perangnya Platon. Karena sifat si-kuda hitam ini selalu mengarah ke bawah, dan jika diikuti terus, ia hanya akan membawa hidup bersama ke-kemediokeran saja. Dan selama lima tahun terakhir, terlebih di bulan-bulan terakhir ini, semakin merasakankah anda? Merasa hidup bersama semakin meluncur ke level medioker itu?
Amplop-amplop dalam bermacam ukuran itu perlahan semakin menggila saja, dan sadar-tidak-sadar semakin menenggelamkan martabat kita sebagai bangsa. Hanya pemimpin plonga-plongo saja yang masih akan berdendang bocor ..., bocor ..., bocor ..., terkait bocornya anggaran negara. ‘Amplop’ dalam ukuran besarnya. Tidak tahu ini sudah masalah martabat bangsa. Poya mol, dab. *** (04-04-2019)
[1] Misal tulisan-tulisan dari Machiavelli, Thomas Hobbes, Carl Schmitt diantaranya
[2] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/012-Di-belakang-SBY-Jokowi/
[3] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/123-Power-Distance-di-Dua-Pesta/
[4] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/215-Mak-Erot-Eros/