20-03-2019
Saat menjabat sebagai Irjen di Kementrian Agama, M. Jasin seakan dipojokkan dengan opini ‘membakar lumbung sendiri’ ketika pengawasan dilakukan dengan lebih ketat dari pusat sampai ke daerah-daerah. Hal tersebut diungkap Jasin pada ILC 19 Maret 2019 dengan tema : “OTT Rommy Ketua Umum PPP, Pukulan bagi 01?” Apa yang dikatakan oleh M. Jasin tersebut, dan tentu terkait dengan hebohnya Kementrian Agama –yang publik-pun pastilah paham itu tidak hanya terjadi di Kementrian Agama saja, adalah salah satu tantangan terbesar bagi Prabowo-Sandi jika terpilih nantinya dalam upaya merealisasi pembenahan pendidikan yang berdasar bakat dan minat.
Pendidikan tidak lepas dari keputusan-keputusan politik. Pada kesempatan sebelumnya telah disinggung ‘kondisi teknis’ dan ‘kondisi sosial’ pendidikan berdasar bakat dan minat ini. ‘Kondisi politis’ sebenarnya adalah yang terberat. Secara ‘teknis’ sebenarnya di jajaran Kementrian Pendidikan banyak yang mumpuni soal pendidikan ini, termasuk juga paham soal ‘bakat dan minat’. Yang diperlukan adalah ‘back-up’ politis dari pimpinan tertinggi republik. Kenapa?
“Pendidikan adalah dinamit bagi kolonialisme,” demikian dikatakan Raymond Kennedy di pertengahan abad XX lalu. Dan banyak lagi quote senada dari banyak tokoh. Kalau kita plesetkan pendapat di atas, bisa saja akan berbunyi: “pendidikan adalah dinamit bagi dominasi oligarki-pemburu rente.” Dan dalam konteks ini, bukan hanya ‘teknis-pendidikan’ saja yang akan berhulu-ledak, tetapi juga upaya dalam ‘kondisi sosial’, dan dalam konteks republik terlebih saat berkomitmen dalam ‘kondisi-politis’-nya.
Tidak mungkin-lah kita berharap pendidikan berbasis bakat dan minat ini akan berjalan optimal jika penyelenggara negara dalam hal ini tubuh pemerintahan masih saja merebak soal sogok-menyogok, kong-ka-li-kong dalam nafas nepotisme seperti soal penerimaan pegawai, misalnya. Atau dalam kasus Rommy, soal jual-beli jabatan. Kesadaran akan pentingnya ‘kondisi politis’ ini terkait dengan komitmen akan pendidikan berbasis bakat dan minat, dari hal di atas sudah sedikit mulai nampak komitmen tersebut akan mengusik dominasi kaum oligark-pemburu rente itu.
Atau juga misalnya keputusan politis soal pengadaan bermacam buku yang dipakai dalam proses pendidikan. Jika jerat kong-ka-li-kong tidak diperhatikan secara serius, ini juga akan ‘merusak suasana’. Belum lagi soal isi. Dan sebaiknya soal isi ini betul-betul ada tim evaluator yang paham akan maksud dasar dari berbasis bakat dan minat ini. Juga libatkan pakar psikologi anak untuk mengevaluasi lay-out-nya. Lakukan persiapan dan evalusi soal bermacam buku yang terlibat dalam pendidikan anak ini secara menyeluruh dan detail.
Contoh kecil yang kadang mengganggu, menurut saya. Yaitu penggunaan buku garis-garis kotak kecil untuk mengerjakan soal matematika. Bayangkan anak-anak kita mengerjakan soal matematika pada buku dengan garis-garis (vertikal-horisontal) kecil itu. Angka-angka berdesakan, tulisan menjadi kecil-kecil, dan juga sebenarnya anak kita tanpa sadar ia seakan-akan terus-menerus ‘terbingkai’. Ini sebenarnya akan kontra-produktif dengan keinginan mengeksplorasi bakat dan minat. Mungkin biar rapi atau yang lain, tetapi tidak ada cara lain?
Ujian Negara pada dasarnya punya tujuan baik, tetapi tujuan baik itu haruslah juga tidak lepas dari konteksnya. Berpuluh tahun lalu Koentjaraningrat mensinyalir soal mentalitas gampang menerabas, yang juga itu berarti mentalitas yang tidak menghargai mutu. Kedua hal ini bisa-bisa berujung pada tidak hanya hilangnya kepercayaan pada sistem, tetapi juga retaknya ‘kondisi sosial’. Terlalu mahal ‘biaya sosial’-nya. Apalagi jika kita bicara bukan sekedar UN, tetapi ‘proyek UN’.
Bayangkan pula pertandingan Piala EFL atau di tahun 2019 ini Piala Carabao di Inggris dimana ia diikuti hampir seluruh klub sepakbola Inggris, dan bisa kita lihat bersama: pemenangnya sebagian besar adalah klub-klub dari divisi Liga Premier. Dengan kesenjangan sosial yang masih tinggi, dan kesenjangan mutu baik antar sekolah maupun antar daerah, Ujian Negara jika tidak hati-hati hanya akan mempertahankan dominasi saja.
Hal kesenjangan bermacam ini bukan berarti bukan masalah bagi paradigma proses berbasis bakat dan minat ini. Keputusan-keputusan politik harus mendukung all-out untuk memperkecil berbagai kesenjangan ini. Yang kecil-kecil seperti kelas akselerasi sebaiknya ditiadakan. Kalau toh ada yang sungguh-sungguh amat spesial sekali, silahkan ‘loncat-kelas’, itu-pun hanya pada tingkat SLTP dan SLTA saja.
Dalam satu wawancara, Menteri Pendidikan Finlandia ditanya soal ‘rahasia’ suksesnya pendidikan dasar di sana, dijawab: “Teacher, teacher, teacher.” Maka keputusan politik haruslah memberikan perhatian lebih pada masalah guru ini. Terlebih dengan keinginan menggeser paradigma, dari paradigma output ke proses berbasis bakat dan minat ini. Berapa kebutuhan riil dalam paradigma proses ini? Bagaimana dengan status guru dan kesejahteraannya? Dan jangan pernah lupa, pendidikan lanjut bagi guru dan pelatihan-pelatihan peningkatan mutu setiap tahunnya. Jelas sebuah pekerjaan besar. Dan jelas juga jika berhasil getaran keberhasilannya itu tidak hanya akan dirasakan di dalam negeri saja. Pemimpin tertinggi yang dengan riang difoto saat baca komik jelas tidak bisa diharapkan lagi. Apalagi jika pemimpin boneka. *** (20-03-2019)