18-03-2019
Bicara soal bakat dan minat di dunia pendidikan republik tentu akan menarik, terlebih jika dibicarakan bersama soal Ujian Negara (UN). Terlebih lagi jika itu dibicarakan oleh kandidat yang kemungkinan memenangkan pertarungan adalah besar. Kandidat yang dari performance-nya nampak jauh dari kesukaan nggedebus [1] saja. Hal yang perlahan semakin membuat khalayak merasa mual, terlebih jika melihat jejak-jejak digital dari kompetitor yang dalam hitungan detik saja sudah bisa dihadirkan di depan mata.
Kalau dalam tulisan sebelumnya lebih menyoroti soal ‘kondisi teknis’, dalam kesempatan ini akan lebih dilihat soal ‘kondisi sosial’. Artinya, bagaimana pergeseran pendidikan dari paradigma out-put itu ingin digeser menjadi paradigma proses dengan menitik-beratkan pada soal bakat dan minat itu menjadi sebuah ‘struktur terdukung’. Tidak mudah masalah sosial ini, cobalah kadang kita menemui suatu perbincangan, ooo anak saya di TK X sudah diajari ini dan itu. Yang lain menimpali, ooo kalau anak saya di TK W sudah bisa ini dan itu. Dan seterusnya. Bertahun kita dibuai dengan paradigma out-put ini, tetapi berpuluh tahun pula –sekitar 45-an tahun lalu, rasanya tengara dari Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis masih relevan kita baca.
Tidak mudah terkait dengan bagaimana membangun paradigma proses ini benar-benar menjadi suatu upaya terdukung secara sosial. Tentu upaya sosialisasi akan dilakukan secara intensif, semoga. Tetapi yang lebih penting lagi, meski pendidikan tidaklah melulu menyiapkan anak didik sehingga mampu ‘hidup-di-luar-rumah’ sendiri nantinya, melalui inilah sebenarnya ada celah untuk sosialisasi menjadi lebih efektif.
Meski pengetahuan bahwa yang akan mampu bisa melanjutkan ke universitas secara stastistik hanyalah 30% dari komunitas tidak ada di sebagian besar khalayak, tetapi sebagian besar khalayak pastilah paham bahwa sebagian besar anak didik akan tidak melanjut ke jalur universitas. Dan inilah sebenarnya pintu masuk soal bakat dan minat ini bisa lebih diakrabkan pada khalayak, yaitu dengan memperkenalkan secara cerdas dan tulus soal SMK dan Politeknik dan sejenisnya.
Harus sungguh disadari bahwa ‘rekayasa sosial’ terkait dengan pergeseran paradigma ini bukanlah kerja gampang dan asal-asalan saja, apalagi semata hanya proyek menghabiskan anggaran. Sungguh harus ditimang-timang dari banyak segi, jangan sampai keliru ucap atau pendekatan. Dan pastilah baru akan berhasil dalam jangka waktu yang lama.
Yang juga harus selalu dibangun secara sosial salah satunya adalah, baik jalur SMA, SMK, Universitas, ataupun Politeknik dan sejenisnya itu adalah sama-sama ber'martabat'nya. Sama-sama bermartabatnya karena sama-sama bisa menjadi jalan untuk menuju sukses. Kalau gelar Doktor bisa menjadi salah satu indikator sukses, baik jalur universitas maupun jalur politeknik-pun bisa mencapainya dengan beberapa perbedaan cara. Kalau berpenghasilan tinggi bisa menjadi salah satu indikatornya, baik jalur universitas maupun politeknik-pun bisa sama-sama menggapai penghasilan tinggi. Dan seterusnya.
Paradigma proses dengan menilik bakat dan minat itu jelas bukanlah sebuah proses pemilahan antara ‘yang maknyos’ dan ‘yang maknyus’, tetapi adalah bagaimana menyiapkan anak untuk bisa masuk dunia kompetisi dengan memaksimalkan potensi diri, bakat yang kuat yang ada dalam dirinya. Dan ini sangat perlu adanya ‘kondisi sosial’ yang paham dan mendukung soal ini. *** (18-03-2019)
[1] = omong kosong