16-03-2019
Tentu kita harus menempatkan bahasan pengejaran kepentingan diri (self-interest) secara proposional. Sebagai penjelas, pengejaran kepentingan diri ini salah satu ujung pentingnya adalah pembagian kerja (division of labor). Seorang pembuat roti karena ia ingin mempunyai baju bagus, pergilah ia ke tukang jahit. Seorang petani karena ia tidak bisa mengajari anaknya soal perbengkelan yang menjadi bakatnya, maka ia akan berusaha memasukkan anaknya ke SMK otomotif, dan seterusnya. Dan dari situlah kemudian muncul selain spesialisasi adalah juga kompetisi. Tukang jahit akan berusaha menjadi tukang jahit terbaik, demikian juga SMK otomotif “A” misalnya, selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik di antara SMK otomotif lainnya.
Secara tidak langsung semestinya hal di atas juga akan menyemai kultur meritokrasi. Tetapi contoh yang sekarang ini sedang hangat dibicarakan, soal ‘makelar jabatan’ yang melibatkan Ketua Umum PPP itu, inilah salah satu perampokan di kanal rezeki yang begitu merusak republik.
Banyak orang tentu berpikir bahwa dengan bekerja keras ia akan berprestasi, dan dengan prestasi tersebut ia berharap juga peluang untuk naik pangkat atau yang sejenisnya, dan dengan itu tentu ia berharap juga rezeki yang diperolehnya akan meningkat.
Atau bayangkan juga, petani yang dengan susah payah ia mencangkul, menebar benih terbaik, membasmi hama dan menebar pupuk, tetapi ketika hasil taninya masuk pasar dengan harapan ia akan memperoleh rezeki cukup untuk makan keluarga dan bertani selanjutnya, tiba-tiba saja ada gelontoran dari antah-berantah membuat harga jatuh. Dan itu juga tidak jauh dari kasus ‘makelar jabatan’, yang terjadi adalah ‘makelar kekuasaan’.
Dengan kekuasaan ada di tangan, oknum pemerintah ini memberikan kemudahan dan kesempatan bagi para kartel importir pangan itu untuk menggelontor pasar dan itu membuat harga jatuh. Dia meraup triliun rupiah dari hasil ‘makelaran kekuasaan’ itu. Dan koleganya di pemerintah-pun mengamini dengan ujar: salahnya petani tidak efisien! Lupa bahwa di banyak negara pendukung pasar bebas itu banyak dari mereka memandang soal kedaulatan pangan adalah hal sangat strategis sehingga berbagai subsidi digelontorkan untuk petani dan peternak selain itu juga berbagai jalan proteksi mereka gelar juga.
Atau juga lihat bagaimana beberapa negara Afrika menangis karena industri tekstil-nya porak poranda dengan merebaknya impor pakaian bekas ilegal.
Hasrat menumpuk kekayaan, apalagi jika ‘jalan gampang’ seakan ada di depan mata seperti contoh di atas, ‘makelaran jabatan’ dan ‘makelaran kekuasaan’ misalnya, memang sangat menggoda. Gejolak di atas sulit untuk dihilangkan, tetapi sebenarnya bisa dilawan dengan hasrat lain. Di sinilah sebenarnya penegakan hukum ada dalam posisi krusial. Ia siap melawan dan menenggelamkan hasrat akan kebanggaan diri, kehormatan diri, ketika ada yang tidak bisa mengendalikan gejolak hasrat akan kekayaan melalui jalan gampang di atas. Maka tidak berlebihan juga ketika ada yang berpendapat bahwa kegagalan rejim ini adalah bahkan dimulai dari hari-hari pertamanya, yaitu ketika mengangkat Jaksa Agung yang sangat erat terkait dengan partai politik. Terlebih selama kampanye Jokowi berjanji untuk tidak melakukan itu.
Kebanggaan akan Indonesia yang merdeka dan bersemayam di dada –NKRI harga mati itu misalnya, karena hanya terbatas pada ‘apel kebangsaan’, maka hampir bisa dikatakan terlalu lemah untuk melawan gejolak hasrat ‘menjadi kaya dengan jalan gampang’ itu. Apalagi dengan banyak agenda tersembunyi dimana kehormatan di ranah politik-kekuasaan itu-pun telah banyak dibunuh karakternya sehingga ia berjalan secara compang-camping. Terseok-seok sehingga dengan sedikit saja godaan, dengan sedikit saja peluang, dia dengan mudah menapak jalan gampang itu. Maka ketika yang sok-nasionalis itu bergaya naik chopper, naik KRL, selfa-selfi di daerah bencana, dan banyaaak lagi, tetap saja ia tidak berhasil mengangkat hasrat akan Indonesia, hasrat yang diharapkan mampu melawan gejolak hasrat ‘bawah perut’ (terutama hal uang) yang ugal-ugalan itu.
Bagi bangsa Indonesia, melihat kasus Ketua Umum PPP akhir-akhir ini, sebenarnya adalah juga ‘kegagalan’ bersama. Gagal dalam memilih pemimpin. Maka jika kita masih ingin menimang asa, tidak ada jalan lain selain: #2019gantipresiden. *** (16-03-2019)