13-03-2019
Dalam Bagian XX Sang Penguasa (The Prince), yaitu tentang: Apakah Benteng Perlindungan dan Banyak Hal yang Kerap Kali Dibangun Raja Berguna atau Merugikan, Machiavelli menuliskan: “Raja yang merasa lebih takut terhadap rakyat sendiri daripada serangan bangsa asing, sebaiknya membangun benteng. Tetapi raja yang merasa takut terhadap serangan musuh asing daripada rakyatnya sendiri tidak usah memusingkan soal benteng.” [1] Bagi jaman now, benteng karena ‘merasa lebih takut terhadap rakyat sendiri’ itu bukanlah kawat berduri mengelilingi istana negara, misalnya. Tetapi lebih seringnya adalah undang-undang yang di dalamnya berdesakan pasal-pasal karet yang dapat digunakan kapan saja. Dan tidak hanya ada berdesakan, tetapi lebih penting lagi adalah memang terbukti dalam perjalanannya pasal-pasal itu sering digunakan sebagai benteng ketika berhadapan dengan rakyat sendiri. Tidak hanya undang-undang, tetapi juga pelaksanaan aturan yang kadang terlihat jelas seperti dipaksakan atau sebuah kesalahan kecil yang dicari-cari. Intinya, hukum kemudian menjadi benteng kekuasaan.
Menilik pendapat Machiavelli di atas ada hal lain yang tidak kalah pentingnya dari misalnya mulur-mungkret-nya hukum, yaitu terkait dengan, mengutip Machiavelli: ‘serangan bangsa/musuh asing’. Tidak hanya satu soal benteng saja, tetapi hal di atas itu berkelindan satu dengan lain, antara benteng karena takut terhadap rakyat sendiri dan serangan bangsa/musuh asing. Maka ketika sebuah rejim menjadi terlalu sibuk membangun benteng dalam menghadapi rakyat sendiri, pertanyaannya adalah: apakah dia tidak takut terhadap serangan bangsa/musuh asing?
Pendapat Richard Robinson salah satu Indonesianis terkemuka asal Australia kiranya bisa membantu bahasan kali ini. Robinson dalam Kuliah Umumnya hampir tiga tahun lalu di Melbourne mengatakan: "Kita menyadari bahwa jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat." [2] Memproyeksikan kekuatan ke panggung internasional itu tidak hanya akan menemukan peluang saja, tetapi juga ancaman. Dari proyeksi ancaman inilah sebenarnya langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi penghayatan akan perlu atau tidaknya sebuah benteng dalam menghadapi rakyat seperti dikatakan Machiavelli di atas.
Atau bisa dikatakan, sebuah rejim ketika ‘merasa takut terhadap serangan musuh asing daripada rakyatnya sendiri’ maka dia akan merasa tidak perlu disibukkan membangun benteng menghadapi rakyatnya sendiri. Dan dia perlahan akan sadar bahwa ‘benteng yang terbaik yang perlu dibangun ialah menghindari jangan sampai dibenci oleh rakyat’, [3] demikian kata Machiavelli juga. Inilah mungkin salah satu rute dari pernyataan Richard Robinson di atas terkait dengan sebuah negara bisa menjadi negara yang kuat karena ‘negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional’. Rute ketika ‘seorang raja’ berusaha keras untuk ‘jangan sampai dibenci oleh rakyat’.
Machiavelli sendiri dengan pemahaman mendalam akan ‘manusia apa adanya’ telah memberikan saran-saran dalam Sang Penguasa bagaimana si-raja agar ‘tidak dibenci oleh rakyat’. Dari mulai tipu-tipu sampai dengan ‘penumpasan prototipe penantang’ buatan sendiri. Dari memberikan penghargaan pada rakyat melalui tangannya sendiri sampai dengan menjaga tangan selalu bersih dan memerintahkan orang lain melakukan pekerjaan kotor untuknya. Dan banyak lagi.
Dari bermacam pengalaman sejarah berbagai bangsa, kita bisa melihat bahwa apa yang banyak ditunjukkan Machiavelli berdasarkan ‘manusia apa adanya’ itu dan terkait erat dengan ‘aksi-reaksi’-nya, kita bisa melihat sebuah gerak maju. Mungkin tidak gerak lurus, tetapi di banyak bangsa, maju lima langkah, mungkin kemudian mundur satu-dua langkah, maju lagi enam langkah mungkin mundur lagi dua-tiga langkah. Mungkin misalnya, upaya supaya tidak dibenci itu dulu dilakukan dengan tipu-tipu, tetapi sekarang tidak bisa lagi hanya dengan berdendang tipu terus tidak dibenci rakyat. Apalagi jika tipu-tipu itu telah terbongkar begitu telaknya.[4] Horison yang semakin maju itu semestinya juga akan memajukan penghayatan hidup bersama, termasuk juga bagaimana mengelola kekuasaan dan lebih lagi: reaksi-responnya rakyat terhadap praktek kekuasaan. Atau dalam kata-kata Machiavelli: “Karena itu, saya mengambil kesimpulan bahwa dewi fortuna atau nasib mujur dapat berubah-rubah dan orang yang tetap memegang teguh cara-cara mereka, akan berhasil selama cara-cara ini sesuai dengan situasi, tetapi kalau cara-cara itu berlawanan [dengan situasi yang berkembang], maka mereka akan mengalami kegagalan.” [5]
Pertanyaan di republik jaman now, jika kita misalnya merasakan si-penguasa menjadi lebih sibuk membangun benteng ketika berhadapan dengan rakyat, apakah ancaman akan ‘serangan bangsa/musuh asing’ itu tidak ada dalam benaknya? Ataukah sebenarnya justru malah dia di-back up oleh asing tertentu yang kuat? Atau malah bahkan sebenarnya ‘boneka’-nya asing? Inilah sebenarnya kelindan antara ‘perlunya benteng dalam menghadapi rakyat sendiri’ dan ‘ancaman serangan bangsa/musuh asing’ seperti dipaparkan oleh Machiavelli sebaiknya kita pahami tidak secara terpisah. Sama halnya seperti disinyalir oleh Richard Robinson terkait dengan ‘proyeksi kekuatan negara ke panggung internasional’ dan ‘kuatnya sebuah negara’. *** (13-03-2019)
[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit Pustaka Gramedia, 1987, hlm. 90
[2] http://internasional.kompas.com/read/
2016/07/08/13300091/profesor.australia.indonesia.tak.punya.kapasitas.
untuk.jadi.kekuatan.baru.di.dunia
[3] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. 90
[4] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/218-Syarat-Menipu-Menurut-Machiavelli/
[5] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. 104