02-03-2019
“Prabowo: Keberhasilan Negara dapat Diukur dari Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan” [1], demikian salah satu judul berita terkait pernyataan Prabowo Soebianto, 28/2/2019. Bukan karena penulis adalah dokter dan istri seorang pendidik sehingga membenarkan pernyataan Prabowo di atas, tetapi pertama-tama adalah masalah pelayanan kesehatan dan akses ke pendidikan itu adalah hak sosial warga negara. Hak sosial yang dimata pendukung berat ‘there’s no such thing as society’ –ungkapan Thatcher di tahun 1987, dipinggirkan atas nama ‘there are individual men and women and there are families,’ lanjut Thatcher.
Pelayanan kesehatan dalam bentuk menyeluruh jelas bukan hal yang menarik pihak swasta, kalau toh swasta tertarik dalam masalah kesehatan maka ia hanya terlibat pada hal-hal yang dimungkinkan untuk mengambil keuntungan. Hal yang tidak kita tolak keberadaannya. Tetapi sekali lagi, masalah kesehatan secara menyeluruh itu jelas tanggung jawab negara, dan bukan keuntungan-lah paradigmanya, tetapi adalah karena amanat konstitusi. Tanggung jawab dan kewajiban negara terhadap warga negara, si-pembayar pajak. Bahkan yang berpenghasilan rendah-pun itu adalah pembayar pajak, misal ketika ia belanja pasti ada pajaknya, entah itu mlipir dalam bermacam bentuknya.
Tentu negara harus berpikir juga masalah pengendalian biaya sebab masalah kesehatan itu jika tidak ada pengendalian biaya bisa tidak terkendali, nggak karu-karuan, baik dari sisi riil yang diakibatkan dari pelayanan sebagai akibat kemajuan teknologi maupun dari moral hazard dari stake-holders yang terlibat, siapapun itu. Maka sebenarnya, baik terkait dengan kualitas pelayanan maupun terutama masalah pengendalian biaya, pendidikan masyarakat itu adalah nomer satu. Pendidikan dalam hal bagaimana memahami seluk-beluk-sistem pelayanan penyelenggaraan jaminan kesehatan, atau dalam hal ini BPJS. Tidak hanya masyarakat atau khususnya lagi peserta, tetapi jangan pernah lupa juga pada penyelenggara pelayanan di semua tingkatan. Sebagai yang pernah bekerja di asuransi, terkait dengan penyelenggaraan kesehatan sistem managed-care ini, agak kaget juga ketika bertahun lalu ada gubernur yang sedang cari muka untuk kepentingan pil-pres, dengan gagah mengatakan kalau ada rumah sakit menolak pasien, lapor saya. Tanpa rinci menjelaskan apakah itu pasien gawat darurat, atau tidak dan lainnya. Inilah salah satu bentuk paling konyol dalam hal pendidikan masyarakat, dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan kesehatan sistem managed-care.
Tidak mudah, butuh waktu lama dan sungguh jangan sampai salah bicara hanya demi popularitas, dan juga bagaimana para wartawan kesehatan itu paham juga masalah seluk-beluk managed-care sehingga edukasi terkait dengan sistem ini betul-betul tersampaikan dengan benar. Tentu wartawan tidak bisa lepas begitu saja dari ‘bad news is good news’ tetapi jika pengetahuan tentang seluk-beluk managed care memadai dia bisa lebih hati-hati dalam pemberitaan. Pekerja sosial sebaiknya banyak direkrut oleh BPJS, sebagai salah satu bentuk penyampaian edukasi secara benar atau memberikan pertimbangan-pertimbangan tertentu, secara langsung di pusat-pusat pelayanan tertentu. Dan bagi penyelenggara seperti BPJS misalnya, adalah lebih mudah mengelola jika hanya ada satu istilah atau program. Jika ada kartu KIS atau lainnya, cobalah satu saja, istilah BPJS yang dilikuidasi atau kartu KIS itu, satu saja, selain akan mempermudah pengelolaan, kemungkinan kebocoran juga bisa lebih mudah dilacak.
Pada tahun-tahun awal penyelenggaraan seperti pada sistem BPJS ini maka jumlah kunjungan pastilah akan melonjak atau tinggi. Bisa saja karena ‘senangnya-masyarakat’ terutama golongan menengah ke bawah, tetapi juga misal karena penyakit-penyakit bawaan atau kronis juga akan banyak menghampiri pusat-pusat pelayanan kesehatan. Pada titik tertentu maka akan ketemu juga ‘angka-stabil’-nya sehingga perkiraan kunjungan dan perkiraan biaya akan semakin dapat diprediksi. Situasi pada tahun-tahun awal ini semestinya bisa diprediksi.
Selain edukasi dan pemahaman akan ‘maksud-baik’ dari semua stake holders, pendekatan ‘struktural’ jangan pernah dilupakan karena ini melibatkan manusia-manusia dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Maka yang tidak boleh dilupakan oleh penyelenggara BPJS adalah berbagai macam audit, mulai dari audit medis, audit klaim, audit administratif dan juga audit internal oleh pengawasan internal.
Pendidikan selain soal seluk-beluk-sistem ke-BPJS-an, masalah preventif dan promotif jangan pernah dilupakan, baik oleh BPJS atau pemerintah melalui kementrian terkait. Dan satu lagi, dengan adanya BPJS, ini adalah kesempatan bagi khususnya tenaga medis meningkatkan ketrampilannya. Dengan ter-cover-nya biaya pelayanan, dimungkinkan kasus-kasus termasuk juga kasus-kasus sulit akan meningkat, dan ini adalah kesempatan juga bagi tenaga medis mengasah dan meningkatkan ketrampilannya. Tentu dengan profesionalisme yang selalu terjaga.
Soal pendidikan, ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama adalah pendidikan dasar, dan kedua adalah SMK, dan politeknik-politeknik. Pendidikan dasar sungguh sangat penting, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah siapa saja guru honorer yang terlibat dalam pendidikan dasar harus diupayakan menjadi PNS. Jika tidak memenuhi syarat dan baru mengabdi di bawah 3 tahun, segera diputus saja dan diberi pesangon yang cukup. Tetapi yang sudah lebih dari 3 tahun sebaiknya diproses menjadi PNS. Setelah status terselesaikan, tingkatkan dengan secara rutin melakukan pelatihan-pelatihan, paling tidak dalam setahunnya katakanlah 30 jam, atau lebih. Dan terus ditingkatkan. Peran guru haruslah dipandang sebagai yang terpenting dalam penyelenggaraan pendidikan, terlebih di pendidikan dasar, dan juga tingkat SMK dan SMA tentunya. Hilangkan paradigma kompetensi di pendidikan dasar, gantilah dengan paradigma potensi yang lebih menekankan pada proses, dan bukan out-put. Karena itu maka jumlah maksimal murid per kelasnya jangan banyak-banyak, cukup maksimal 26 anak per-kelasnya. Ini supaya guru lebih mampu mengikuti perkembangan anak-per-anak-nya. Mengenai pendidik di pendidikan tinggi, satu harapan: jangan bebani mereka dengan ‘tugas-tugas’ administrtif berlebih sehingga bisa fokus pada pendidikan dan penelitian.
Tentu masih banyak hal yang perlu diperhatikan baik masalah kesehatan dan pendidikan. Tulisan ini hanya sekedar ingin membuka hal penting yang sungguh penting dalam hidup menegara. Masalah kesehatan dan pendidikan adalah masalah yang memerlukan pengorganisasian yang sungguh tidak main-main dan bukan masalah satu-dua-lima tahun saja. Ada komitmen disitu, ada juga pengetahuan dan ketrampilan. Ada tantangan yang selalu berubah. Bermacam hal. Maka adalah benar juga Prabowo jika mengatakan bahwa keberhasilan negara dapat diukur dari pelayanan kesehatan dan pendidikan. *** (03-02-2019)
[1] https://www.timesindonesia.co.id/read/203041/20190301/094630/prabowo-keberhasilan-negara-dapat-diukur-dari-pelayanan-kesehatan-dan-pendidikan/