01-03-2019
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan Dari Hēgemonia ke Archē (lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/) dan eksplorasi lebih lanjut dari pertanyaan Machiavelli: “Anda seorang raja atau seorang yang sedang merintis untuk menjadi raja?” [i] Eksplorasi lebih lanjut terhadap dua hal di atas adalah penting bagi warga-negara, terlebih bagi bagi masyarakat sipil karena hal merebut kekuasaan itu bisa berbeda jauh dari hal melaksanakan kekuasaan. Apalagi jika perebutan dan pelaksanaan kekuasaan itu ada dalam masyarakat dimana ‘power distance’-nya cenderung tinggi.[ii] Dalam masyarakat dengan ‘power distance’ yang tinggi lebih mudah rakyat ‘diplekotho’, dipermainkan elit, meski di satu sisi jika pemimpinnya benar-benar ‘maknyus’ adalah juga modal awal yang bisa menjanjikan.
Hēgemonia pada jaman Yunani Kuno merupakan hal yang melanjut pada disematkannya ‘hak untuk memimpin’. Pada abad 5 sampai abad 4 SM, pada jaman Yunani Kuno hēgemonia adalah sebuah bentuk otoritas yang terkait erat dengan penghargaan, penghormatan. Di Sparta dan Athena merupakan penghargaan, penghormatan atas kontribusi dan pengorbanannya dalam Perang Persia.[iii] Dalam kacamata Max Weber, hēgemonia ini dekat dengan konsep Herrschaft, yaitu “the opportunity to find obedience amongst specified persons for a given order.” Dan juga yang tidak boleh dilupakan dalam konsep Weber tentang Herrschaft ini adalah Weber melanjutkan diskripsikannya sebagai “ways of having one’s prevail without using force (physical violence) and, thus, describes power as psychological phenomenon.” Sebagai kebalikan atau lawan dari konsep Herrschaft ini, menurut Weber adalah konsep Macht.[iv]
Sedangkan archē berarti adalah ‘kontrol’, dan pada awalnya diterapkan atas sebuah negara-kota, dan kemudian mengatur atau mempengaruhi pada beberapa negara-kota lainnya. Archē selalu juga berarti bersifat hirarkis. Sekali archē ditegakkan, merawat hirarki menjadi salah satu tujuan penting, dan archē didasarkan pada kratos (kapasitas material). Kapasitas material yang superior akan menyediakan dasar kuat bagi penaklukan atau paksaan.[v]
Hampir duaribu tahun kemudian, terkait dengan hēgemonia dan archē ini, dalam konteks masanya mungkin pertanyaan Machiavelli seperti sudah dikutip di atas bisa dianggap mewakili ‘semangat jamannya’: “anda seorang raja atau seorang yang sedang merintis untuk menjadi raja?” Bagi kita, beberapa hal di atas bisa mengusik imajinasi lebih lanjut. Coba bayangkan, misal dulu-sekarang adanya hēgemonia Amerika atas dinamika dunia, dan tiba-tiba saja hēgemonia itu mengalami pergeseran menjadi archē, tidak di seluruh dunia memang, tetapi misalnya jaman Bush terkait dengan Irak: maka output-nya adalah perang, rusak-rusakan bagi Irak.
Pemilihan umum dalam ranah demokrasi sebenarnya harus kita hayati sebagai ‘perebutan hēgemonia’ di mana si-terpilih akan mempunyai ‘hak untuk memimpin’ dalam rentang waktu tertentu. Kalau jaman Sparta-Athena 5-4 abad SM hēgemonia dikaitkan dengan kontribusi dan pengorbanan saat Perang Persia, maka jaman now era demokrasi adalah terkait dengan prestasi dan integritas, misalnya. Dan berdasarkan prestasi dan integritas itu jugalah ‘hēgemonia’ akan diperebutkan lagi setelah rentang waktu untuk memimpin sudah habis sesuai dengan kesepakatan awal. Maka ketika ‘logika hēgemonia’ ini secara perlahan tapi pasti bergeser pada ‘logika archē’ adalah sah sekali jika kita menjadi khawatir, was-was. ‘Logika archē’ yang sangat bersifat hirarkis itu, dan lekat dengan nuansa penaklukan dan coercion. Maka sekali lagi, hati-hati .... ha-ti-ha-ti ..... *** (01-03-2019)
[i] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Gramedia, hlm. 66
[ii] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/123-Power-Distance-di-Dua-Pesta/
[iii] Richard Ned Lebow, The Power of Persuasion, dalam Felix Berenskoetter, M.J. Williams (ed), Power in Worlds Politics, Routledge, 2007, hlm. 124
[iv] Felix Berenskoetter, Power in Worlds Politics, Routledge, 2007, hlm. 4
[v] Richard Ned Lebow, hlm. 124-125