www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

'Banalitas Klaim'

22-02-2019

 

Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil adalah laporan yang ditulis oleh Hannah Arendt, terbit tahun 1963. Laporan tersebut merupakan laporan pandangan mata dan diolah lebih dalam oleh Arendt itu terkait dengan pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem atas tuduhan kejahatan pembunuhan massal orang Yahudi selama Nazi berkuasa di Jerman pada masa Perang Dunia II. Pemakaian dan analisa ‘banality of evil’ setelah itu menjadi populer. Di akhir dekade 1960-an, Stanley Milgram melakukan ‘uji-coba-laboratorium’ atas analisa Arendt, dan dalam bagian awal buku laporan percobaannya, Milgram mengutip pendapat Charles Percy Snow (1905-1980) yang pada tahun 1961 dalam jurnal The Progressive menuliskan: “When you think of the long and gloomy history of man, you will find more hideous crimes have been committed in the name of obedience than ever been committed in the name of rebellion [i]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Banalitas erat terkait dengan ke-tidak-berpikir-an. Karena pengaruh kuat akan otoritas dan mungkin juga ‘hanya melaksanakan tugas’, pertimbangan-pertimbangan rasional dan pertimbangan etis bisa dengan mudahnya disingkirkan. Apalagi jika background adalah berkembangnya ‘psikologi kerumunan’. Klaim sendiri sebenarnya juga laksana berdiri di tepi kolam banal, sebab klaim pada dirinya sendiri sudah mengandung pendakuan tanpa didukung oleh bukti-bukti atau evidence yang valid. Maka dengan dorongan sedikit saja ‘kegilaan’ akan klaim, klaim-klaim itu bisa dengan cepat menjadi ‘banalitas klaim’. Bukan pembunuhan atau penghilangan nyawa seperti ujung dari ‘banality of evil’ dalam A Report on the Banality of Evil-nya Hannah Arendt, tetapi ‘pembunuhan ke-berpikir-an’-lah korban nyatanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Jika yang menjadi korban utama dalam ‘banalitas klaim’ ini adalah ke-berpikir-an maka menjadi mengkhawatirkan jika tiba-tiba saja ke-tidak-berpikir-an yang sudah di-deder, sudah di-‘ternak’ oleh kegilaan akan klaim itu bisa mewujud –entah rute mana yang terpakai, sebagai ‘banality of evil’ seperti digambarkan dengan brilian oleh Arendt. Dan jika itu terjadi, berapa harga yang harus dibayar oleh republik? Siapa menebar angin menuai badai, dan bagaimana jika yang ditebar adalah angin ‘ke-tidak-berpikir-an’? Inilah saatnya kita menilik dengan serius ungkapan dalam bahasa Jawa: ngono yo ngono ning ojo ngono. Sebuah ungkapan tentang ‘tahu batas’. Sebagai homo ludens kita terdorong untuk semakin beradab oleh permainan. Setiap permainan tentu selain menggembirakan, ada juga kesepakatan soal aturan, mana yang boleh dan yang tidak. Manusia tidak hanya terlatih menaati peraturan dalam permainan, tetapi juga dilatih dalam menahan diri, dalam hal ‘tahu-batas’.

 

Apa yang digambarkan tanpa tèdèng aling-aling oleh Machiavelli dalam The Prince sebenarnya bisa kita baca dari bermacam sudut. Apa yang ditulis Machiavelli itu sebenarnya bisa kita pandang salah satunya sebagai cermin sehingga kita menjadi semakin paham siapa diri kita sebagai manusia, man as he really is. Dan dengan itu pula kita bisa membayangkan tantangan-tantangan apa yang akan dihadapi ketika kita akan mewujudkan cita-cita bersama. Bagi yang ingin ‘memanfaatkan’ berbagai celah yang melekat pada 'manusia apa adanya’ itu, dengan mempelajari The Prince-nya Machiavelli kita menjadi lebih paham ‘strategi dan taktik’-nya. Maka perlawanan-pun bisa kita bangun menjadi lebih ‘tepat-guna’ juga, dan dengan perlawanan itu pulalah kita membangun dengan terus ‘memajukan yang senyatanya ada’ sedikit demi sedikit, naik ke level lebih tinggi. Maju dalam ketegangan antara ‘apa yang senyatanya ada’ dan ‘apa yang seharusnya ada’.

 

Jika adanya gejala ‘kegilaan akan klaim’ ini tidak hanya menjangkiti satu orang saja, tetapi banyak dan semakin banyak, kita patut curiga ada otoritas tertentu di belakangnya sehingga itu mewujud. Mungkin juga para konsultan, bisa saja agen intelejen entah dari mana asalnya, atau lainnya, yang pasti melihat percobaan Stanley Milgram seperti sudah disinggung di awal tulisan, pastilah ada otoritas yang ‘bermain’. ‘Banality of evil’ di masa Perang Dunia II itu, bisakah kita bayangkan hanya seorang Hitler dan tanpa Joseph Goebbels? Sebuah ‘otoritas’ yang mana mereka menyandarkan obedience-nya. Maka, menolak  dan melawan ‘kegilaan akan klaim’ sebenarnya adalah upaya patriotik untuk menghindarkan the long and gloomy history of republic. *** (22-02-2019)

 

[i] Stanley Milgram, Obedience to Authority, An Experimental View, Tavistock Publication, Ltd, 1974, hlm. 2

Niccolo Machiavelli

gallery/eicmann trial

Adolf Eichmann trials

gallery/arendt

Hannah Arendt