18-02-2019
Banjir informasi, bermacam spektrum informasi di abad informasi ini semakin memberikan sebuah kebutuhan sendiri: reputasi. Sebagai sebuah khalayak, kita pernah mengunduh hal yang begitu mengusik reputasi, misal soal gegap-gempitanya mobil Esemka bertahun lalu. Bagaimana informasi yang diolah sedemikian rupa itu telah meminggirkan hal reputasi secara telak. Reputasi Sukiyat dalam otak-atik mesin mobil dan mendidik anak-anak SMK dalam kerja praktek pada khususnya, dan reputasi para ahli permesinan, metalurgi, design dan bermacam lagi pada umumnya, dapat begitu saja dikooptasi oleh keserakahan tanpa batas dari si-pengolah informasi. Reputasi dalam rimba carut marut informasi ini perlahan dihayati sebagai semacam axis mundi dimana banyak orang akan mendekatkan diri dalam membangun kosmos-nya, dan supaya tidak terjatuh dalam situasi chaos.
Reputasi yang dibicarakan di sini adalah reputasinya manusia, bukan singa yang mempunyai reputasi sebagai raja rimba. Atau heyna dengan reputasi kelicikannya. Tetapi manusia dalam gerak aktifitasnya, manusia dalam vita activa-nya, menurut Hannah Arendt. Reputasi sebagai homo laborans, homo faber, dan sebagai zoon politikon. Dalam kenyataannya, manusia tidak bisa hanya homo laborans, atau homo faber, ataupun zoon politikon saja. Maka reputasi manusia sebenarnya terbangun dari bermacam irisan dari ketiga hal tersebut. Tentu ada yang sebagai ‘ujung-tombak-reputasi’-nya. Sebagai homo laborans yang lekat dengan aktifitas kerja , manusia akan disibukkan dengan upaya bertahan hidup. Sebagai homo faber manusia akan lekat dengan karya yang mendobrak kondisi alamiah yang melingkupinya. Sebagai zoon politikon manusia tidak bisa lepas dengan manusia-manusia lain, dan disinilah politik dalam keberagaman adanya manusia mewujud dalam tindakan. Sangat jarang manusia akan mencapai puncak reputasinya di ketiga bidang vita activa itu secara bersamaan, tetapi reputasi pada bidang tertentu bisa ikut-ikutan terganggu ketika di bidang lain ia mengalami keretakan ‘reputasi’ yang parah.
Reputasi seorang zoon politikon ada yang menyebut juga sebagai reputasi sosial (social reputation), yang mana reputasi ini terbangun terkait erat dengan hal etika, integritas, responsibilitas dan hal-hal baik yang dihayati oleh khalayak. Integritas menunjuk pada menjunjung tinggi prinsip-prinsip moral, responsibilitas adalah tentang kuatnya rasa tanggung jawab. Etika menyangkut juga pengetahuan luas yang akan mendukung penghayatan akan prinsip-prinsip moral yang dipegangnya. Dari beberapa hal di atas nampak sekali bahwa reputasi si-zoon politikon itu laksana sebuah ‘jangkar’ bagi khalayak dalam ke-saling-an interaksinya. Itulah sebenarnya jika kita bicara soal pemimpin politik. Lihatlah misalnya, suka-tidak-suka, sosok Margaret Thatcher dan Deng Xiao Ping misalnya, ketika memimpin masa transisi yang mengantar paradigma neoliberalisme menjadi sosok yang dominan sampai ranah dunia.
Dalam dunia yang menjadi semakin cepat, semakin sulit diprediksi, dan carut-marut informasi dengan spektrum yang seakan tanpa batas ini, reputasi seorang pemimpin politik bisa sangat membantu menjalani hidup bersama ini menjadi lebih mudah, lebih efisien. Dan dengan itu pula daya kompetisi sebagai bangsa akan semakin meningkat. Tentu dalam politik tidak semudah seperti hal di atas, tetapi ketika modus komunikasi mass-to-mass via digital-internet ini merebak, ada kesempatan bagi khalayak untuk meningkatkan kemampuan daya saringnya terhadap munculnya pemimpin-pemimpin politik. Paling tidak kalau toh itu terefleksi pada kepentingan diri, maka dengan pemimpin politik yang mempunyai reputasi, pengejaran kepentingan diri bisa lebih bisa diprediksi jalan lurus atau jalan terjalnya.
Maka menyongsong abad reputasi bagi civil society sebagai bagian zoon politikon, bagi khalayak adalah pertama-tama meningkatkan daya saringnya bagi kemunculan sosok pemimpin. Dan itu sebenarnya bisa dimulai dengan satu hal sederhana, menyaring dengan menolak pemimpin yang suka berbohong, suka nggedebus saja. Mudah saja, berbohong terlalu sering dalam ranah aktifitas zoon politikon itu jelas bukan sebuah reputasi yang akan dapat berfungsi sebagai jangkar hidup bersama. Singkirkan orang-orang semacam itu, dan kita bisa berharap lagi untuk bisa lebih kompetitif sebagai satu bangsa. Termasuk juga di sini orang-orang yang secara vulgar tanpa malu-malu lagi hadir sebagai sosok penjilat, atau mudah retak integritasnya karena sandera kasus, misalnya. Atau iming-iming yang menggiurkan. Kualitas yang seperti ini, boro-boro sebagai jangkar, dia akan tidak segan berkhianat.
Atau bisa kita balik cara melihatnya. Ketika orang yang suka berbohong, penjilat vulgar, dan yang lemah integritasnya terlalu banyak lalu-lalang di ‘ranah-kepemimpinan’, kita sebenarnya sedang diperlemah daya kompetitifnya sebagai satu bangsa. Ujungnya? Penguasaan, dan tidak yang lainnya. *** (18-02-2019)