12-02-2019
Bagi Mangunwijaya, istilah pasca-sarjana bukanlah berarti sudah bukan sarjana lagi. Ia tetap sarjana, tetapi dengan keluasan dan kedalaman yang lebih maju. Menjadi alumnus suatu proses pendidikan, apapun itu, tentu diharapkan juga setelah itu terus berproses dalam memajukan keluasan dan kedalaman, melalui beragam bentuk dan jalan. Alumnus sendiri dari asal katanya mengandung arti berkembang. Berkembang setelah melalui satu tahapan pendidikan tertentu, dan tentu diharapkan pada rentang waktu setelahnya juga. Alumni adalah bentuk plural dari alumnus.
Akhir-akhir ini marak layaknya sebuah perlombaan, bermacam alumni mengklaim diri atau diklaim sebagai pendukung si A atau si B. Lupa bahwa di luar yang baru mempunyai hak pilih di tahun 2019 ini, kita semua –bahkan juga yang golput, sebagai pemilih adalah juga ‘alumni 2014’. Jika keseluruhan proses pemilihan 2014 lalu adalah juga sebuah proses pendidikan kewargaan negara misalnya, kita adalah alumninya. Alumni yang telah mengalami proses ‘pendidikan’ paling tidak setiap 5 tahun sekali. Alumni yang sifatnya ‘sementara’ setiap lima tahun sekali. Program ’pasca-sarjana’ bagi alumni ‘lima-tahun-an’ ini adalah rentang waktu pasca pemilihan sampai pemilihan selanjutnya. Inilah sebenarnya kita bicara, meminjam istilah si Bung, romantika-dinamika-dialektika gerak kita sebagai pemilih.
Kemuakan terhadap jungkir-baliknya ‘politisi’ yang sering tidak tahu batas itu, adalah salah satu bagian dari romantika. Ketika dua pemilihan lalu seorang aktivis dengan segudang pembelaan terhadap masyarakat terlebih pada masalah tanah, dan ia banyak berhasil dalam perjuangannya, tetapi ketika ia mencalonkan untuk anggota DPRD Tk. II demi untuk meneruskan perjuangan, ia harus menghadapi kenyataan kalah dengan uang Rp 50.000 – Rp 100.000. Bahkan ada yang Rp 25.000. Jika ini terulang lagi di dua pemilu berikutnya, maka ‘pendidikan’ lima tahunan itu jelas telah gagal. Kita hanya bergerak saja di tataran romantika, tetapi jauh dari dinamika dan dialektika.
Kemuakan terhadap seorang pejabat ketika kita melihat bagaimana ia merendahkan rakyat ketika lempar-lempar bingkisan dari mobil sedang berjalan sambil pecingas-pecingis, harus juga tidak hanya berhenti pada ‘romantika-kemuakan’ belaka. Segala daya harus terus-menerus dibangun, dibenturkan, dan dilaksanakan untuk pemilihan yang akan datang dimana yang seperti ini dapat dipinggirkan. “Romatika-kemuakan’ terhadap janji-janji yang diingkari itu harus berlanjut seperti di atas juga, dan yang modal utamanya adalah nggedebus itu juga harus dipinggirkan dalam pemilihan yang akan datang. Itulah ketika masa-masa pasca-pemilihan, penghayatan semestinya menjadi lebih luas dan dalam. Meluas dan semakin dalamnya penghayatan adalah bentuk lanjut dari romantika: dinamika. Dan ketika ia berujung pada tindakan, yang tidak lepas dari aksi-refleksi yang sekaligus akan memperluas dan memperdalam penghayatan situasi, kita sedang berdialektika.
Ro-din-da-nya si Bung sebenarnya adalah proses menguak posibilitas, membuka pintu bermacam-nya kemungkinan ke depan untuk kemajuan. Jika kita terus berada dalam kerangkeng mitos ‘yang bodoh’ dan ‘yang mudah disogok’ [1], maka disitulah sebenarnya banyak pintu telah ditutup. Pintu dimana kita sebenarnya bisa melangkah kaki masuk dalam samudra posibilitas, samudra kemungkinan. Dan jika terlalu banyak pintu ditutup, kita sebenarnya hanya sedang disodori satu kemungkinan, yaitu berada di bawah kendali oligarki-pemburu rente. Jelas republik bukan untuk itu. Founding fathers jelas juga sedang gundah di alam sana. Jika kita berhenti untuk ber-ro-din-da, maka sebenarnya kita sedang menyerahkan diri pada dinamika istana saja, istana dimana orang-orang sontoloyo itu sedang banyak-banyaknya berkeliaran. *** (12-02-2019)
[1] Lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/204-Saat-Dipostulatkan-Sbg-Yg-Bodoh-Mudah-Disogok/