06-02-2019
“Berkat pemerintahannya yang sudah lama semua ingatan akan perubahan dan sebab-sebab perubahan tersebut akan dilupakan orang, karena suatu perubahan selalu merupakan awal perubahan lainnya,” [i] demikian Machiavelli di awal The Prince. Dalam ranah demokrasi, perubahan-perubahan itu bisa berarti ‘terpicu’ oleh pemilihan umum. Karena janji-janji yang ‘disemburkan’ oleh para kontestan, rakyat, si-demos, akan melihat adanya potensi perubahan meski masih samar-samar. Janji kampanye dari peserta pemilihan bagi si-pemilih adalah sebuah ‘peta perubahan’ yang dibayangkan ketika itu akan dilaksanakan oleh si-terpilih nantinya.
Tetapi berdasarkan kutipan Machiavelli di atas, maka bisa juga ada yang berpikir begitu mbélgèdès-nya. Semburlah janji-janji sekuat mungkin, semburlah janji-janji se-indah mungkin, setinggi-tingginya, sebab toh 5 tahun yang akan datang rakyat sudah akan lupa. Jangan sungkan, dan jangan pernah ragu memompa janji-janji setinggi langit sebab ini adalah juga hal merebut hegemonia.[ii] Karena begitu hegemonia direbut, dalam hal ini melalui jalan demokrasi-pemilihan, maka masalah selanjutnya adalah masalah arche, yang berarti kontrol dan selalu bersifat hirarkis. Begitulah keyakinan vulgar kaum mbélgèdès itu.
Tentu Machiavelli tidak sedang melamun ketika menulis hal di atas. Pada beberapa bagian tulisan Machiavelli nampak ‘konsisten’ dengan pendapat tersebut. Tetapi bagaimana-pun juga tulisan Machiavelli itu ditulis ketika belum genap satu abad jika dihitung dari ditemukan mesin cetak Gutenberg. Dan juga sekitar 150 tahun sebelum koran (newspaper) pertamakali terbit, 300 tahun sebelum ditemukan radio, 400 tahun sebelum ditemukan televisi, dan hampir 500 tahun sebelum digital-internet merebak seperti sekarang ini. Baik mesin cetak, radio, televisi jika dilihat sebagai modus komunikasi, mempunyai karakteristik yang sama, yaitu man-to-mass. Atau kalau kita lihat dari sudut pandang lain, kompatibilitasnya dengan nuansa Revolusi Industri adalah sangat lekat. Yang namanya Revolusi Industri itu selalu terkait dengan produksi massal. Maka memang jika menguasai misalnya baik media cetak, radio dan televisi, apa yang ditulis oleh Machiavelli hampir 500 tahun lalu, tetaplah akan dapat mempunyai energi yang (sangat) kuat. Energi untuk ‘memaksakan’ pelupaan akan janji-janji kampanye 5 tahun lalu. Pelupaan akan ‘sebab-sebab’ perubahan 5 tahun lalu.
Tetapi jaman now, jaman ketika era digital-internet begitu merebaknya –era merebaknya modus komunikasi mass-to-mass, tantangan besar hadir tepat di depan salah satu diktum Machiavelli tersebut. Jejak-jejak digital begitu mudahnya untuk ‘dipanggil’ lagi dalam memperkuat memori. Segmen rakyat yang menjadi ‘tidak mudah lagi dikadalin’ menjadi semakin besar. Segmen rakyat yang akan merasa terhinakan dengan tipu-tipu vulgar akan semakin tebal dan membesar. Mau dialihkan pada soal semburan hoax-hoéx, semburan dusta, atau semacamnya, maka dengan lincahnya banyak khalayak langsung menunjuk semburan janji 5 tahun lalu. Bahkan dalam rentang waktu yang lebih lama lagi.
Situasi seperti ini bukannya tidak disadari oleh kaum vulgar mbélgèdès itu. Mereka paham, meski mereka tetap yakin akan selalu adanya ‘some of the people all of time’ [iii] yang selalu siap untuk ditipu. Maka mereka membuka lagi ‘diktum’ Machiavelli yang lain: “Rakyat pada dasarnya mudah berubah sikap; amat mudah memberi anjuran mengenai sesuatu hal, tetapi sulit untuk mengajak mereka tetap berpegang pada anjuran tersebut.” [iv] Jadi, meski kaum vulgar yang mbélgèdès itu sadar bahwa semakin besar segmen rakyat yang merasa terhina akan semburan janji-janji yang diingkari itu, pada saat-saat akhir menjelang coblosan, godaan akan uang dan bingkisan masih sangat diharap akan melepas berbagai anjuran terkait terbohonginya akan janji-janji 5 tahun lalu itu.
Bagi oposisi, masalah siapa sebaiknya ia berkonsultasi bisa menjadi problematik tersendiri. Tapi, secara tidak langsung Machiavelli memberikan ‘saran’: konsultasilah dengan rakyat. Jadikan rakyat menjadi konsultan. Mengapa? Kata Machiavelli: “rakyat lebih jujur dalam cita-cita mereka daripada para bangsawan, karena para bangsawan ingin menindas rakyat, sedangkan rakyat menginginkan untuk menghindari penindasan.” [v]
Hal terakhir yang perlu diperhatikan adalah, masih menurut Machiavelli: “Pada umumnya kerajaan-kerajaan ini mengalami krisis, kalau kekuasaannya yang terbatas berubah menjadi kekuasaan yang mutlak.” [vi] Maka ketika ‘kekuasaan yang sebenarnya terbatas itu’ secara perlahan dan sporadis, dan semakin nampak nyata bermetamorfosis menjadi ‘kekuasaan yang mutlak’ maka bagi ‘kerajaan’ itu mungkin saja sedang masuk fase krisis, tetapi bagi rejim mungkin itu berarti juga sekarat. Dan sekarat-nya rejim, ia bisa ‘kroncalan’ tidak karu-karuan, bisa nyampluk kanan-nyampluk kiri. Hati-hati dengan 'spiral' ke-sekarat-an ini.
Bagi Machiavelli, sebuah rejim bisa berujung pada ke-kesekarat-an salah satunya karena ketika “penduduk biasa menjadi penguasa hanya karena nasib mujur tanpa mengalami kesulitan apapun untuk naik jenjang tersebut, besar sekali kesulitan yang dihadapinya dalam mempertahankan kekuasaan. Kesulitan tidak mereka temui sewaktu diangkat naik, tetapi kesulitan baru muncul sewaktu dia sudah memegang kekuasaan. Orang-orang semacam ini menerima wilayah kekuasaan karena uang atau kebaikan hati seseorang yang memberikan suatu wilayah kekuasaan kepadanya.” [vii] ‘Penduduk biasa’ yang dimaksud Machiavelli dalam konteks jamannya kemungkinan besar adalah yang bukan bangsawan. Mungkin pada jaman sekarang, demokrasi sekarang ini, itu mungkin berarti sebagai orang yang kemampuannya pas-pas-an saja. Tidak ada hubungannya dengan trah atau darah biru. Lebih lanjut Machiavelli mengatakan: “Orang-orang semacam ini sangat tergantung pada mereka yang telah membantunya menjadi penguasa, dan pada nasib mujur. Kedua hal ini sangat tidak dapat merupakan pegangan kuat dan sifatnya goyah.” [viii] Dan ketika benar-benar goyah dan nampak gejala ke-sekarat-annya serta kroncalan karena menolak ‘soft-landing’, sekali lagi: hati-hati. Terlebih bagi republik yang kita cintai ini, jangan sampai retak kebablasan hanya karena sosok boneka beserta segala resiko yang dibawanya seperti digambarkan oleh Machiavelli di atas. *** (06-02-2019)
[i] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit PT Gramedia, 1987, hlm. 6
[ii] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/
[iii] Abraham Lincoln: “You can fool all the people some of time, and some of the people all of time, but you cannot fool all the people all the time”
[iv] Niccolo Machiavelli, ... hlm. 24
[v] Ibid, hlm. 40
[vi] Ibid, hlm. 42
[vii] Ibid, hlm. 25
[viii] Ibid, hlm. 26