08-01-2019
Suka atau tidak suka, Amerika Serikat tetap menarik dari banyak segi. Laporan Mega Simarmata di Rmol.co 6 Januari 2019 [i] bisa menjadi titik berangkat bahasan satu segi dalam dinamika politik di AS. Laporan Mega tersebut tentang bagaimana adanya sangsi tegas ketika ada bocoran materi debat pilpres di AS sono. Dari laporan Mega tersebut nampak bagaimana lembaga pemilihan (kalau di sini disebut KPU) itu sungguh dijaga marwah martabatnya. Seberapakah penting hal ini?
Cobalah kita lihat jauh ke belakang, paling tidak pasca Depresi Besar, dari manakah saja lembaga kepresidenan berasal? Dari Republik atau Demokrat-kah? Dari banyak pustaka atau laporan, kita bisa tahu bahwa sebagian besar pemilih di AS itu bukanlah ‘pemilih yang ideologis’. Tetapi kalau kita lihat lebih dalam lagi, meski sebagian besar warga negara ‘bukan pemilih ideologis’, dua partai dominan (Republik dan Demokrat) itu adalah partai ideologis, dengan dua karakter yang sangat bisa dibedakan. Dengan warna tindakan-tindakan nantinya sedikit banyak bisa diraba atau diprediksi. Apa yang ditulis oleh Karl Polanyi dalam The Great Transformation (terbit pertama kali tahun 1944) sebenarnya sedikit banyak bisa menggambarkan karakter Republik dan Demokrat. Dalam The Great Transformation tersebut Polanyi mengintrodusir istilah ‘double movement’, katanya: “The one was the principle of economic liberalism, aiming at the establishment of a self-regulating market, relying on the support of trading classes, and using largely laissez-faire and free trade as its methods; the other was the principle of social protection aiming at the conservation of man and nature as well as productive organization, relying on the varying support of those most immediately affected by the deleterious action of the market –primarily, but not exclusively, the working and landed classes – and using protective legislation, restrictive associations, and other instruments of interventions as its method.”[ii] Partai Republik dalam banyak hal bisa dikatakan lebih dekat dengan yang disebut pertama (‘the one’), sedang Demokrat pada yang kedua (‘the other’). Tentu dengan perkembangan dan dinamika jaman ‘spektrum-kanan-kiri’ misalnya, juga menjadi dinamis.
Jika kita bicara hasrat, dahsyatnya hasrat akan kebanggaan diri dan bermacam nafsu sudah tidak usah diperdebatkan lagi. Bahkan Platon-pun menggambarkan sebagai kuda putih dan kudah hitam yang selalu bergolak liar. Platon kemudian menggambarkan reason sebagai sais-nya. Tetapi benarkan bisa semudah itu? Cobalah kita bayangkan, reason apa yang mampu mengendalikan gejolak nafsu sehingga mau-maunya mengeluarkan 80 juta rupiah semalam untuk sebuah kenikmatan seksual, misalnya? Meski begitu, kita paham juga, sisi-gelap manusia itu menyimpan energi yang dahsyat. Bagi sebuah perusahaan jasa misalnya, pimpinan akan bicara kepada tenaga pemasarannya bahwa soal komisi itu: the sky is the limit. Atau coba kita lihat ujung dari epik Perang Dingin, siapa yang sedang di atas angin, si-sama-rasa-sama-rata atau si-kepentingan-diri?
Dari sejarah kita bisa belajar dari bermacam pengalaman empirik bagaimana soal bermacam hasrat ini ‘dikelola’. Dari yang dimatikannya hak milik, ditekannya habis-habisan soal kepentingan diri, sampai yang maunya menempatkan kepentingan diri di tempat paling sakral. Dengan berbagai spektrumnya, dengan berbagai taktik-strateginya. Adam Smith terutama dalam The Theory of Moral Sentiments jelas sangat paham problematik dinamika hasrat ini. Amerika Serikat dengan melihat dinamika menang-kalahnya Partai Republik dan Demokrat, bisa kita lihat juga bagaimana mereka ‘mengelola kegelapan hasrat’ dan bagaimana ‘mendaya gunakan energi-dahsyat’ yang dibawanya. Cobalah kita bayangkan, dengan segala wataknya, akankah AS akan berhasil melewati Depresi Besar jika yang berkuasa adalah Republik? Atau bagaimana neoliberalisme seperti yang kita kenal sekarang ini diinisiasi pada era Partai Republik berkuasa? Kebetulan?
Maka di sinilah sebenarnya peran sentral dari lembaga pemilihan di AS, ia memfasilitasi upaya ‘mawas diri’ bangsa. Tentu bolong-bolongnya tidak sedikit dalam upaya ‘mawas diri’ itu, tetapi apapun itu, mari kita bayangkan jika kualitas lembaga pemilihan mereka seperti KPU di republik sekarang ini -now. Calon presiden tidak harus menyampaikan visi-misinya yang sebenarnya akan dibawa terus ketika dia memenangkan pertarungan. Atau bahkan materi debat sudah dibocorkan seminggu sebelumnya! Tidak hanya bolong-bolong dalam proses, tetapi inilah sebenarnya ‘dagelan politik’ yang paling mbèlgèdès! Pecas ndahé, dab .... Bagi republik tercinta ini, jelas dagelan yang tidak lucu sama sekali, karena terlalu besar yang dipertaruhkan. Maka, silahkan monggo jika ada yang mau mulai dari misah-misuh lebih dahulu ......*** (08-01-2019)
[i] https://politik.rmol.co/read/2019/01/06/373923/Membandingkan-Keputusan-KPU-Bocorkan-Pertanyaan-Debat-Capres-Dengan-Kasus-Donna-Brazile-Di-Amerika-
[ii] Karl Polanyi, The Great Transformation, Beacon Press, 2001, hlm. 138-139