28-12-2018
“A Theory about the stars never becomes a part of the being of the stars. A Theory about man enters his consciousness, determines his self-understanding, and modifies his very existence.”
Abraham J. Heschel
(‘Who Is Man?’ 1963, hlm. 8)
Ketika jalan-jalan ke Singapura beberapa waktu lalu, meski selalu ada di kantong Gudang Garam International, rasanya mau merokok di sembarang tempat terasa jengah. Bukan saja melihat besaran denda yang harus dihadapi, tetapi juga sangat-sangat jarangnya ‘manusia’ lain yang merokok di sembarang tempat. Di hotel kecil di kawasan Little India-pun mau nekat merokok di dalam hotel rasanya jengah. Pihak hotel kelihatannya sadar bahwa tamu sering merokok di samping hotel, maka di tiang penyangga bangunan kemudian dipasang kaleng khusus untuk membuang abu dan batang rokok. Hampir sama dengan ketika jalan lewat trotoar menuju stasiun MRT di Ferrer Park. Ada belokan kiri dan setelah kira-kira 2 meteran belok kanan lagi dan masing-masing belokan bersudut 90 derajat. Pengguna jalan kelihatannya banyak yang menerabas dan menginjak rumput taman. Oleh pengelola kemudian ditambahkan paving block yang membentuk segitiga sehingga yang mestinya pejalan kaki belok kiri, dan 2 meter kemudian belok kanan, tetap bisa berjalan serong saja tetapi sekarang tidak menginjak rumput lagi. Atau bisa dikatakan, kebiasaan kecil (yang kurang baik) itu diakomodir sehingga ‘rasa bersalah’ warga karena melanggar ‘kebiasaan baik’ bisa berkurang.
Tidak perlu ke Singapura sebenarnya untuk merasa jengah merokok di sembarang tempat. Ketika masih bolak-balik Semarang-Jakarta –saat ambil S2 di STF Driyarkara, meski akhirnya nggak kelar, kereta api terlebih kelas ekonomi Tawang Jaya menjadi andalan. Selama rentang masa bolak-balik itu, saya menjadi saksi bagaimana perubahan situasi selama perjalanan kereta mengalami pergeseran. Dari yang semrawut menjadi tertata nyaman. Salah satunya terkait dengan merokok itu. Sudah lama sebenarnya tulisan ‘dilarang merokok’ bertebaran di kereta, tetapi mengapa pada masa itu berhasil ditegakkan, dan tidak hanya itu, berhasil pula ‘dilembagakan’? Kuncinya adalah soal ‘niat’, dan bukan pertama-tama ‘niat’ pengguna seperti saya ini, tetapi ‘niat’ dari pengelola. Yang kedua tentu soal bagaimana ‘niat’ itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan cerdas pula. Sungguh-sungguh itu berarti tidak ‘hangat-hangat tahi ayam’, dan semua –tak terkecuali, unsur pengelola terlibat aktif dan sungguh paham apa yang mau dicapai. Sungguh-sungguh itu juga berarti tegaknya aturan, baik bagi pengguna yang nekad maupun bagi pihak pengelola yang ‘léda-lédé’ semau gué. Sungguh-sungguh itu tentu pertama-tama bukan masalah citra atau pencitraan lagi. Apalagi jika ‘niat’ awalnya cuma manipulasi doang. Maka memang tidak mudah dan tidak gampang, tetapi ternyata kita bisa tuh. Cerdas salah satu misalnya silahkan kalau mau merokok, tetapi ada tempatnya. Misalnya ketika hampir sampai di stasiun Cirebon, bagi para pengguna kereta api dan perokok berat tentu sudah siap-siap sebatang rokok untuk dituntaskan di smoking area di stasiun, di luar kereta.
Kutipan dari Abraham J. Heschel di atas, ‘a theory about man’ bisa dipandang sebagai moment eksternalisasi dari sudut pandang Peter Berger dan Thomas Luckmann, yang akan diikuti oleh obyektifikasi, dan akhirnya ‘enters his consciousness’ dalam proses internalisasi. Dalam beberapa tahapan internalisasi yang berujung pada institusionalisasi, maka ‘a theory about man’ itu pun akan ‘determines his self-understanding, and modifies his very existence’. Tentu dalam realitas tidaklah se-garis lurus seperti di atas, tetapi melibatkan juga persaingan, kompetisi, ‘pelintiran’, disinformasi, dan bahkan ‘perang’. *** (28-12-2018)