25-12-2018
Apa yang menyebabkan popularitas Joko Widodo 'meroket' beberapa tahun lalu, pada saat di ujung ke-wali-kota-annya dan awal menuju DKI-1? Tentu media massa berperan sangat penting, tetapi akankah peran penting itu akan mewujud efektif jika tidak ada yang diberitakan? Di sinilah 'logika kerumunan' bisa menjadi pusat strategi mendongkrak popularitas. Lihatlah bagaimana kerumunan-kerumunan itu hampir selalu membayangi Joko Widodo saat itu. Mulai dari heboh mobil Esemka, dan lihatlah kerumunan-kerumunan saat mobil itu ‘diarak’ dengan Jokowi duduk di atas kap mobil! Atau bagaimana kerumunan itu (sengaja) tertangkap kamera saat Jokowi turun got. Atau bahkan sedang menyerahkan gitar ke KPK, tidak lupa kerumunan-pun terus membayangi. Tidak hanya membayangi, kerumunan itupun selalu siap dengan tepuk tangan. Coba lihat juga bagaimana beberapa karnaval yang dapat dilihat disini sebagai ‘kerumunan yang ditelikung’ demi mendongkrak popularitas.
Setelah akhirnya menjadi RI-1, nampak ada pergeseran dalam pembingkaian gambar. Nampak semakin sering dalam gambar untuk konsumsi publik, tergambarkan mulai banyak lepas dari kerumunan. Macem-macem-lah bentuk atau rupa foto ‘sendirian’ itu muncul di depan publik. Mulai dari di pinggir kolam, petèntang-peténténg di alat sistem persenjataan milik TNI, dan bahkan yang ramai di medsos akhir-akhir ini, kompilasi foto sendirian di tengah-tengah lokasi bencana. Ups, kebablasan? Pastilah. Tidak tahu diri? Pastilah. Bahkan untuk yang terakhir ini beredar juga di medsos ‘pra-fota-foto-nya’, bahkan dalam bentuk video! Memuakkan? Pastilah.
Kerumunan., apapun jumlah dan ukurannya, pastilah diperlukan bagi seorang pemimpin publik. Tetapi jika seorang ‘pemimpin’ lebih banyak dilahirkan oleh kerumunan, itu namanya ‘kebalik’. Dan karena ‘kebalik’ maka output-nya pun adalah pemimpin dalam tanda kutip? Mengapa? Karena hampir bisa dipastikan kelasnya: kelas medioker! Tentu kesadaran ini ada juga di kepala tim kreatif atau konsultan ‘citra’-nya atau konsultan politiknya. Hanya saja karena kelasnya memang kelas medioker, maka segala upaya ‘foto-sendiri’ –apapun alasannya, itu malah jadi bumerang, bukan pada pilihan taktis masalahnya, tetapi lebih karena ke-norak-an dan ke-tidak-tahu-batas-nya. Keblinger? Pastilah ..... *** (25-12-2018)