16-12-2018
Dalam Indonesia Menggugat –Pembelaan Bung Karno di pengadilan kolonial tahun 1930, Bung Karno menulis: “Tak berhenti-hentinya kapitalisme modern itu lantas memukul-mukul di atas pintu gerbang Indonesia yang kurang lekas dibukakan, tak berhenti-hentinya kampiun-kampiun imperialisme modern itu dengan tak sabar lagi menghantam-hantam di atas pintu gerbang itu ...... Dan akhirnya kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu gerbang itu! Sebagai angin angin yang makin lama makin keras bertiup, sebagai aliran sungai yang makin lama makin banjir .... maka sesudah Undang Undang Agraria dan Undang Undang Tanaman Tebu de Waal didalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten-General di negeri Belanda, masuklah modal partikulir itu di Indonesia ...... Caranya pengeduk berobah – tetapi banyakkah perobahan bagi rakyat Indonesia? Tidak. Tuan-tuan Hakim yang terhormat – banjir harta yang keluar dari Indonesia malahan makin besar, “pengeringan” Indonesia malahan makin makan!” [1] Undang-undang apa yang termasuk pertama kali diundangkan oleh Orde Baru? Undang-undang Penanaman Modal Asing![2] Dan nuansa kuat apa ketika kita masuk Reformasi, pasca 1998? Deregulasi dan privatisasi! Apa kesamaan dengan yang ditulis oleh si Bung tentang tahun 1870, 1967, dan 1998 seperti ditulis di atas?
Globalisasi sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Frederic S. Mishkin memandang tahun 1870-1914 sebagai Gelombang Globalisasi Pertama. Mungkin masalah intensitas dan luasnya pengaruh yang membuat Mishkin memandang periode 1870-1914 sebagai Gelombang Globalisasi pertama. Tak berlebihan pula jika kemudian kita menghubungkan tahun 1870 dalam tulisan si Bung di atas dengan naiknya gelombang globalisasi saat itu. Ter-interupsi oleh dua Perang Dunia, geliat pertumbuhan di masa the golden ega of capitalism antara tahun 1950-1960-an pun akhirnya sampai juga di tahun 1966-1967 di Indonesia. Kembali pintu gerbang Indonesia digedor-gedor. Mishkin memandang Gelombang Globalisasi Kedua terjadi mulai tahun 1973. Jika Gelombang Globalisasi Kedua ini adalah sebuah ‘rejim’ maka sebagai rejim ia mengalami puncak ‘fase stabilisasi’-nya ketika Tembok Berlin akhirnya runtuh. Penyesuaian-penyesuain yang dilakukan pemerintah Indonesia pasca hancurnya Tembok Berlin tetap saja tidak bisa menghentikan hantaman gelombang globalisasi itu, dan sampailah di tahun 1998. Kembali lagi pintu gerbang Indonesia digedor-gedor dan dipakulah di pintu gerbang piagam Konsensus Washington itu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kesamaan antara tahun 1870, 1967, 1998, mungkin kita bisa meminjam tulisan si Bung tahun 1933 tentang Azas; Azas Pejoangan; Taktik.[3] Apa yang bisa kita bayangkan terkait dengan ‘azas’ mereka? “Dasar atau ‘pegangan mereka’, yang ‘walau sampai lebur kiamat’ terus menentukan ‘sikap’ mereka, terus menentukan ‘duduknya nyawa mereka’” –menyitir tulisan si Bung tentang ‘azas’.[4] Atau apa yang menjadi ‘the wholes’ mereka (azas) dan apa yang menjadi ‘the parts’ (azas perjoangan –parts yang moments, dan taktik –parts yang pieces )? Dan bagaimana dengan 20 tahun setelah 1998? *** (16-12-2018)
[1] Soekarno, Indonesia Menggugat Pidato Pembelaan Bung Karno Di Muka Hakim Kolonial, P.N. Penerbit PRADNJAPARAMITA III, hlm. 43-44
[2] UU No 1 tahun 1967
[3] Soekarno, Azas; Azas Pejoangan; Taktik ,Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, hlm. 249-251
[4] Ibid, hlm. 249