14-12-2018
Dalam Fikiran Ra’jat tahun 1933 -85 tahun lalu, Bung Karno menulis artikel Sekali Lagi, Bukan “Jangan Banyak Bicara, Bekerjalah”, Tetapi “Banyak Bicara, Banyak Bekerja”, berikut sebagian kutipannya: “Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu bahwa semboyan ‘jangan banyak bicara, bekerjalah!’ harus diartikan di dalam arti yang luas. Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu bahwa ‘bekerja’ itu tidak hanya berarti mendirikan barang-barang yang boleh dilihat dan diraba sahaja, yakni barang-barang tastbaar dan materiil. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa perkataan ‘mendirikan’ itu juga boleh dipakai untuk barang yang abstrak, yakni juga bisa berarti mendirikan semangat, mendirikan keinsyafan, mendirikan harapan, mendirikan ideologi atau gedung kejiwaan atau artileri kejiwaan yang menurut sejarah dunia akhirnya adalah artileri satu-satunya yang bisa menggugurkan sesuatu stelsel.”[i] Kalau kita telisik lebih dalam kutipan di atas, mungkin si Bung sedang bicara soal horison.
Jika kita di tepi pantai dan memandang jauh ke laut maka akan terlihat semacam ‘batas pandang’ di mana langit dan permukaan laut bertemu. Itulah horison kita saat itu. Di lain tempat, seorang bapak dengan anak sedang berjalan-jalan di museum dan sedang melihat lukisan Pangeran Diponegoro dengan gagahnya sedang naik kuda. Bagi sang bapak, segera melayang sebuah imajinasi sosok seorang pahlawan. Tapi bagi si anak, mungkin sedang membayangkan betapa senangnya ia jika mempunyai seekor kuda. Perbedaan penghayatan antara si anak dan bapak terhadap lukisan yang sama itu mungkin karena horison saat melihat lukisan itu memang berbeda. Dengan bertambahnya usia dan pengalaman serta pengetahuan, bertahun kemudian jika si anak melihat lagi lukisan tersebut, mungkin saja imajinasinya akan berbeda atau bahkan akan mirip dengan sang bapak. Siapa tahu?
Atau coba kita bayangkan, si A, B, dan C sedang dengan penuh gairah membahas pertandingan Chelsea vs MU, nanti malam. Si A begitu senang dengan sepakbola sehingga setiap pertandingan ia tonton lewat siaran TV, terlebih jika Chelsea sedang main. Si B juga, dan bahkan ia pernah ke negerinya Mr. Bean itu untuk nonton langsung di stadion Stamford Bridge, markas Chelsea. Si C setali tiga uang, tetapi sama dengan si A, ia belum pernah ke Inggris. Si A, B, dan C saling adu argumen gayeng, dan tentu dengan masing-masing horisonnya, dengan masing-masing perspektifnya. Tanpa sadar, dengan ikut sertanya si B yang pernah ke Inggris, baik si A maupun si C secara perlahan juga diperkaya dengan berbagai informasi. Si B-pun juga diperkaya karena intensitasnya baik si A maupun si C dalam mencari segala informasi terkait dengan Chelsea maupun MU. Karena intensitas obrolan itu, perlahan akhirnya mempunyai horison yang saling diperkaya, bahkan menjadi mirip satu-sama-lainnya.
Dari beberapa contoh di atas, dan jika kita lihat kutipan tulisan si Bung di awal tulisan ini, maka baik ‘mendirikan barang-barang yang dapat dilihat atau diraba’, maupun ‘mendirikan keinsyafan’ dan seterusnya itu, sebenarnya sama-sama berurusan dengan ‘memajukan horison’. Mengalami perjumpaan dengan berbagai ‘barang-barang yang dapat dilihat dan diraba’ jelas akan memperluas horison kita juga. Dan dengan meluasnya horison maka berbagai kemungkinan-pun akan semakin beragam, dan dari berbagai kemungkinan itulah yang aktual dapat diperjuangkan, dapat diupayakan. Demikian juga dengan pengalaman bersentuhan dengan upaya-upaya ‘mendirikan keinsyafan’. Dan bahkan yang terakhir ini diyakini si Bung sebagai 'artileri satu-satunya yang bisa menggugurkan sesuatu stelsel'. Dari beberapa hal di atas, maka tak berlebihan jika kita juga bisa memaknai kemajuan sebagai juga ‘memajukan horison’.
‘Memajukan horison’ terlebih yang terkait dengan ‘mendirikan keinsyafan’ perlu persyaratan mendasar, yaitu trust. Bayangkan ketika si A, B, dan C seperti contoh di atas, ternyata pernahnya si B ke Inggris, nonton Chelsea vs MU di Stamford Bridge ternyata hanya nggedebus[ii] saja. Ketika terbangun sebuah horison bersama hasil dari intensitas obrolan, dan ketika ‘akan digunakan’ dalam mengantisipasi hasil pertandingan ternyata meleset jauh. Tentu banyak aspek yang terlibat, tetapi sah-sah juga jika si A dan B kemudian bertanya, sungguh pernahkah si B ke stadionnya Chelsea? Namun harus juga diingat bahwa kesalahan dalam antisipasi adalah hal lumrah, no problem, dan ini juga bisa merupakan titik pijak untuk melihat kembali horison, dan mulai lagi membangun horison baru. Maka jika tidak ingin kejeblos-jeblos, trust, dapat dipercaya itu sangatlah penting. Tidak tergantikan.
Atau bayangkan kita sedang membaca buku, buku yang satu tahun lalu pernah kita baca dan kita stabilo hal-hal yang menurut kita penting waktu itu. Dalam satu tahun ini ada buku-buku lain yang kita baca juga, ngobrol dengan berbagai kalangan, dan selain itu banyak pengalaman juga menghampiri kita. Dan ketika kita baca buku itu lagi sekarang, kadang ada hal-hal baru yang kita merasa perlu di stabilo juga. Bahkan kita bisa juga bertanya dalam hati, mengapa bagian ini saya stabilo satu tahun lalu? Horison berkembang, maka tiba-tiba saja realitas di depan kita-pun bisa berbeda kita menghayatinya. Jika waktu pertama kali Aksi 212 di gelar, katakanlah yang terlibat itu sedang membaca buku tentang Indonesia, dan yang di-stabilo beberapa bagian. Satu tahun kemudian mungkin bertambah yang di-stabilo. Satu tahun kemudian, mungkin ada yang ditambahkan lagi. Dan tidak hanya umat Islam yang kemudian tergerak ikut membaca buku Indonesia ‘halaman 212’ itu. Tidak terhindarkan. *** (14-12-2018)
[i] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jild I, Yayasan Bung Karno, 2005, hlm. 216
[ii] = omong kosong