24-11-2018
Apa esensi dari Proklamasi? Menegaskan batas! Atau meminjam si Bung, sana mau ke sana, sini mau ke sini. Sana mau menjajah, sini mau merdeka. Sana mau menarik batas kedaulatan dengan nusantara menjadi bagian mereka, sini mau menarik batas, nusantara-republik adalah milik kedaulatan kami.
Dalam sesi wawancara dengan wartawan usai menjadi pembicara di acara Indonesia Economic Forum di Hotel Shangri-La, Jakarta pada 21 November 2018 lalu, Prabowo ditanyai dua buah pertanyaan dalam bahasa Inggris. Pertama, apa pendapat Prabowo tentang dukungan Australia atas rencana Amerika Serikat membangun pelabuhan militer di Papua Nugini. Kedua, bagaimana tanggapannya soal rencana Australia memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke Yerussalem.
Untuk pertanyaan pertama Prabowo menjawab dalam bahasa Inggris dengan: "PNG sangat dekat dengan Australia secara tradisional. Jadi itu urusan Australia dan PNG dan AS. Saya tidak melihat itu menjadi masalah bagi Indonesia."
Kemudian untuk pertanyaan kedua yang terkait pemindahan kedutaan Australia dari Tel Aviv ke Yerussalem Prabowo menjawab dalam bahasa Inggris dengan: "Untuk pemindahan kedutaan, saya belum membaca soal keputusan Australia memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Kita sebagai pendukung Palestina, kita tentu punya pendapat sendiri, tapi Australia juga merupakan negara independen dan berdaulat, maka kita harus menghormati kedaulatan mereka." [i]
Yang mau dibahas disini bukan pelintiran murahan dari politisi ndék-ndék-an bergaya sok-sok-an, bukan masalah pelintiran terhadap pernyataan Prabowo di atas, tetapi adalah soal esensi dari pernyataan tersebut. Dengan sedikit upaya saja segera saja nampak esensi pernyataan Prabowo di atas, soal batas. Bahkan dalam dunia binatang, soal teritori, soal batas bisa menjadi masalah hidup-mati. Bagi manusia, batas tidak hanya merupakan satu bentuk kedaulatan, tetapi juga membangun makna. Termasuk juga makna hidup bersama, makna hidup bersama dengan negara-bangsa lain: saling menghormati kedaulatan masing-masing, potensi untuk bekerja-sama dalam posisi setara. Prinsip ceteris paribus yang merupakan faktor penting dalam perkembangan science-pun pada dasarnya adalah juga soal batas. Hanya sayangnya, justru kita sering lupa atas batas-batas yang melekat erat dalam science itu. Tetapi ini hal lain, kesempatan lain. Intinya adalah, ketika kita melupakan batas, banyak hal akan lolos dari perhatian kita.
Kekayaan alam dan potensi swasembada pangan lolos begitu saja karena penyelenggara negara tidak tahu batas terkait dengan hasrat menumpuk kekayaan misalnya. Penyelenggara negara justru jatuh tenggelam dalam gejolak hasrat sehingga tanpa segan menjual pengaruhnya dan menumbuh-kembangkan apa yang mencengkeram republik: rejim oligarki-pemburu rente. Apa yang diungkap Prabowo di atas sebenarnya adalah juga ajakan untuk mawas diri, mawas diri untuk lebih dalam mengenal republik. Republik yang beberapa tahun terakhir ini dikelola secara ugal-ugalan, dan parahnya lagi, amatiran.
Mawas diri ini bukanlah berarti menutup diri. Justru dengan kuat dalam mawas diri, kita akan bisa bersikap seperti diungkap Prabowo di atas. Atau vulgar-nya: ini di sini kedaulatan kami, jangan main-main, kedaulatan-mu ada di sana. Dan dengan itu pula-lah sebenarnya kita akan mampu untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang tentu adalah merupakan sudut pandang kita, di sini. *** (24-11-2018)
[i] https://tirto.id/pangkal-ucapan-prabowo-soal-kedubes-australia-yang-keliru-di-media-dapv, cetak miring ditambahkan