18-11-2018
Salah satu yang dapat kita rasakan selama rejim ini berkuasa, terlebih akhir-akhir ini adalah seakan ada ‘lomba lapor ke polisi’. Tentu tidak ada yang salah dengan melapor ke polisi. Tetapi jika sedikit-sedikit melapor ke polisi, apakah iya kita tidak mampu lagi menggunakan bermacam sumber daya lain untuk membangun ‘satu tertib’ hidup bersama? Salah satu sumber daya itu misalnya adalah sangsi sosial.
Bagi yang merasa tertipu oleh banyak janji di pilpres 2014 lalu, dan bahkan janji sudah ada di atas kertas, haruskah lapor ke polisi juga? Tidaklah, tidak hanya karena ini masalah di ranah politik tetapi lebih dari itu, hanya sangsi sosial-lah sebenarnya yang ada di tangan. Sangsi sosial dimana ia akan menjadi background saat memutuskan siapa akan dipilih nanti di pemilu mendatang. Bagi yang merasa tertipu oleh banyak janji di pilpres 2014 lalu, ikut membesarkan tagar #2019gantipresiden adalah pilihan cerdas, dan tentu semestinya ini akan menjadi background saat berdiri di bilik suara nantinya.
Sangsi sosial merupakan sebuah reaksi dari kebanyakan masyarakat terhadap sebuah perilaku yang tidak bisa diterima. Dalam bahasa Inggris ada beberapa kata yang menunjukkan suatu perilaku (individu atau kelompok individu) yang tidak atau sulit diterima oleh kebanyakan masyarakat seperti, discourteous, unmannerly, unseemly, unworthy, improper, discreditable, dishonourable, disreputable, outrageous, infamous.[i] Tentu sangsi sosial ini tidaklah berdiri sendiri, dia sebenarnya juga ada bersamaan dengan kemampuan memberikan apresiasi juga.
Sangsi sosial ini jika dapat berkembang efektif di masyarakat sebenarnya akan banyak membantu hidup bersama. Berita mundurnya pejabat-pejabat di belahan dunia lain karena ‘kesalahan kecil’ adalah salah satu bentuk efektifnya sangsi sosial. Tidak perlu lagi membuang energi yang tidak perlu dengan bertele-tele membahas di media misalnya. Atau lihatlah ketika atlet bola basket Jepang di Asian Games baru-baru ini dipulangkan oleh pengurus kontingennya terkait dengan skandal prostitusi, sesampai di bandara di Jepang sana langsung menunduk minta maaf kepada khalayak. Tentu ada sangsi organisasi bola basket, tetapi menunduk minta maaf pada khalayak adalah juga buah efektifnya sangsi sosial. Dan di sini kita sering geram ketika melihat para koruptor dengan baju oranye masih cengéngas-cengèngès sambil melambaikan tangan.
Gerak jiwa atau hasrat menurut Platon dapat dibedakan menjadi nous logistikon (terkait dengan pengetahuan, nalar), thumos (kebanggaan, kebesaran, nama baik, keberanian), dan epithumeia (seks, uang-kekayaan, makan-minum). Dari ‘peta hasrat’ Platon ini kita bisa melihat bahwa untuk supaya kekuatan uang bisa dominan dan mengendalikan banyak hal, maka hal terkait dengan nous logistikon dan thumos haruslah diperkecil dayanya. Pada titik inilah mengapa ada yang sangat berkepentingan supaya sangsi sosial itu tidak berkembang. Supaya orang dengan mudah dimainkan melalui kekuatan uang tanpa harus selalu kawatir akan hilangnya nama baik, misalnya. Thumos dalam peta hasrat Platon ini sebenarnya lekat dengan sifat-sifat ksatria. Maka janganlah heran kita kemudian dibiasakan masuk ke ruang publik yang disesaki oleh laku-laku ke-medioker-an. Rusak-rusak-an demi langgengnya kekuatan uang dalam politik. *** (18-11-2018)
[i] A.R. Radcliffe Brown, Structure and Function in Primitive Society, The Free Press, 1952, hlm. 206