www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

31-10-2018

Kan dikasih dunia sama Allah, bagaimana mengendalikan diri?” tanya Aa Gym kepada Sandiaga, Selasa (30/10).[i] Pertanyaan jitu Aa Gym ini muncul mungkin karena rasa penasaran bagaimana nantinya cara Sandiaga mengendalikan diri saat sedang berkuasa dan bergelimang kemudahan. Jawab Sandiaga: “Kalau diberikan dunia terus terang manusia suka biasa lupa. Diberikan begitu banyak nikmat terus sombong. Saya juga pernah merasakan sombong.” Meski begitu, Sandiaga melanjutkan, dia memiliki resep untuk mengingatkan dirinya sendiri agar tidak takabur. Kata dia, caranya adalah bersilaturahmi.[ii]

Pertanyaan jitu yang dijawab dengan jitu pula. Pertanyaan Aa Gym jitu karena secara langsung mempersoalkan tentang politik yang dijalankan oleh manusia, manusia dengan segala gejolak hasratnya. Jawaban Sandiaga-pun jitu karena menukik tajam, tidak mengingkari adanya gejolak hasrat. Bahkan bagaimana gejolak hasrat itu bisa begitu dahsyat, Sandi mengakui bahwa dirinya-pun pernah takluk dalam kesombongan. Dan kita tahu semua, pengalaman adalah sumber utama dari pembelajaran. Dan hasil dari bermacam pembelajaran itu-pun akhirnya Sandi sampai pada jawaban lanjutan: silaturahmi.

Jawaban Sandi itu jelas bertolak-belakang dengan pengalaman hidup sebelumnya: jatuh dalam kesombongan. Sebab tidak akan mungkin jika tidak menjauhkan dari kesombongan maka silaturahmi itu akan mewujud. Dan terlebih lagi, dalam jawaban itu nampak kemunculan kerendahan hati. Terkait dengan gejolak hasrat yang dahsyat itu, Sandi mengambil posisi bahwa itu tidak mungkin akan dikalahkan semata karena kekuatan diri saja. Dalam silaturahmi ada kasih sayang, ada ketulusan dan keterbukaan, dan dengan itu pula Sandi berharap untuk mampu mengendalikan gejolak hasrat dengan dibantu wajah-wajah lain yang menampakkan kasih sayang, keterbukaan dan ketulusan.

People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public; or in some contrivance to raise prices,” demikian tulis Adam Smith dalam The Wealth of Nations.  “Meet together” yang dimaksud Adam Smith di sini jelas bertolak belakang dengan apa yang ingin dicapai dalam silaturahmi. Yang dimaksud Smith adalah sebuah kartel, sebuah praktek oligarki-pemburu rente, yang mana bukan masalah bagaimana hasrat dikendalikan, tetapi justru hasrat dimaksimalkan dengan laku curang. Pemimpin selalu dalam ketegangan ini, ketegangan akan senyatanya manusia dimana gejolak hasrat selalu lekat bahkan sampai seperti digambarkan oleh Smith di atas, dan harapan banyak khalayak terkait bagaimana politik seharusnya mengembangkan hidup bersama. Dan Sandi telah memberikan jawaban jitunya. Tentu ada orang yang akan bertanya, bagaimana nantinya dalam praktek? Pertanyaan yang sangat sah, tetapi juga kita ingat akan pepatah, garbage-in garbage-out, dan jelas jawaban Sandi sama sekali bukanlah jawaban garbage.

Hampir delapan bulan lalu, Jokowi selalu presiden terusik dengan tudingan otoriter. Otoritarianisme jelas tidak lepas dari gejolak hasrat, dan bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu puncak dari ketidak-terkendalinya hasrat. Lalu bagaimana Jokowi merespon hal terkait dengan ke-ekstrem-an gejolak hasrat ini? Dalam pidato Rapimnas Partai Demokrat di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Sabtu 10 Maret 2018, Jokowi mengatakan: “Kenapa saya dibilang otoriter? Saya ini tidak ada potongan sekali pemimpin yang otoriter,” ucap Jokowi. “Penampilan saya tidak sangar. Kemana-mana saya selalu tersenyum. Saya ini seorang demokrat.[iii] Jadi ......., masalah wajah?![iv]   *** (31-10-2018)

 

[i] https://www.gelora.co/2018/10/di-hadapan-aa-gym-sandiaga-saya-pernah.html

[ii] Ibid, cetak miring ditambahkan

[iii] http://www.teropongsenayan.com/83629-dituduh-otoriter-jokowi-penampilan-saya-tidak-sangar-selalu-tersenyum

[iv] Baca juga: Rai, https://www.pergerakankebangsaan.com/037-Rai/

Dua Macam Respon