26-10-2018
Rocky Gerung benar ketika ia mempermasalahkan kesukaan Jokowi sebagai Presiden menanyakan nama-nama ikan sebelum bagi-bagi sepeda. Intinya, pertanyaannya koq nggak ngajak berpikir. Jika ditelisik lebih lanjut, apa yang diangkat Rocky Gerung itu sangatlah mendalam, dan perlu kita urai lebih lanjut. Banal memang bukan nama ikan (lain lagi kalau ‘bawal’), tetapi terkait dengan ke-tidak-berpikiran, demikian paling tidak menurut Hannah Arendt, hampir 60 tahun lalu.
‘Banality of evil’ mencuat ketika Arendt menulis laporan terkait pengadilan Otto Adolf Eichmann di awal tahun 1960-an. Eichmann in Jerusalem, A Report on The Banality of Evil adalah judul laporan Arendt. Kalau meminjam istilah di negeri seberang, Arendt ingin menjawab ‘adakah niat jahat’ dari si- Eichmann ini? Tentu bukan masalah sengkarut tilap-menilap uang seperti masalah di Ibukota beberapa waktu, tetapi pertanyaan ketika seseorang sudah menyentuh ‘situasi batas’, meminjam Karl Jaspers. Situasi dimana semestinya kita akan dipaksa untuk menggunakan salah satu anugerah terbaik manusia, kemampuan berpikir.
Dari Paulo Freire kita bisa belajar bagaimana ‘dialog’ dengan situasi-situasi batas ini mendapatkan ‘pelatihannya’. Dari keseharian belaka, yang umum-umum diketahui bersama, Freire mengajak peserta pemberantasan buta huruf untuk sementara waktu ‘menjaga jarak’ dan ‘tidak tenggelam’, dan menjadikannya sebagai bahan ‘refleksi’ secara tidak langsung dimana itu semua dalam praktek adalah sebagai bahan untuk memahami huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat. Bahwa pada titik tertentu kemudian muncullah ‘paragraf’ yang mampu mendorong pemahaman baru akan realitas, itu adalah hasil dari ‘hidden curriculum’ pemberantasan buta huruf Freireian. Intinya adalah, ajakan untuk berpikir.
Berpikir dalam konteks ‘dialog’ dengan situasi batas ini bukanlah masalah data-data, entah itu data soal beras atau lainnya, tetapi lebih pada upaya untuk mengolah makna (meaning) dan pemahaman (understanding), atau dalam istilah Immanuel Kant, Vernunft (reason), bukan yang Verstand (intellect).
Aksi Bela Islam beberapa waktu lalu adalah salah satu contoh bagaimana dorongan untuk menggunakan kemampuan berpikir itu mampu menahan gejolak yang bisa menjurus kepada suatu ‘banality of evil’. Aa Gym dan para santrinya, beserta banyak lagi kemudian mengikuti, dengan sapu lidi, tas penampung sampah secara tidak langsung mengajak khalayak untuk menggunakan kemampuan berpikirnya sehingga mampu menggali makna atau pemahaman yang lebih luas, lebih dalam akan aksi itu. Ujungnya, sebuah ‘bersih setelah aksi’ yang sungguh bermartabat. Pesan aksi dan ke-martabat-an aksi yang sungguh bisa menggetarkan siapa saja.
Perkembangan teknologi digital sekarang ini telah mendorong pula merebaknya ‘logika waktu pendek’. Ketika kecepatan menjadi salah satu penentu penting dalam suvival media misalnya, ‘pengunyahan’ berbagai informasi menjadi bisa-bisa tidak ada kesempatan lagi. ‘Banality of evil’-pun bisa-bisa mewujud sebagai ke-partisan-digital. Membengkak terus karena silih-berganti juga digedor secara digital layaknya seperti percobaan Milgram di-penghujung tahun 1960-an, hampir satu dekade setelah Arendt merilis laporan Eichmann-nya. Maka tak heran pula jika Manuel Castells kemudian sampai pada kesimpulan bahwa orang akan cenderung menghayati dunianya berdasarkan identitasnya ketika ia ada dalam ketegangan antara the net dan the self.
Tetapi mengapa juga dari jejak digital, salah satu ‘banality of evil’ ini nampak dilakukan dengan seakan sambil ‘bersuka ria’? Dengan HP yang selalu di tangan, direkam dari berbagai sudut? Jangan-jang ini juga sebuah ‘jouissance’, kata Zizek. *** (26-10-2018)