19-10-2018
Kalau toh diperlukan ‘ideologi pendamping’ dalam menghadapi abad milenial yang penuh dengan seliweran pengetahuan ini, dengan kejutan-kejutan dan lompatan-lompatan sain di sana-sini, serta sering menjadi sulit diprediksi, itu adalah ‘konsistenisme’. Selalu berusaha konsisten dalam ujar dan sikap, terlebih yang masuk dalam golongan elit, kalau istilah elit ini kita pakai. ‘Ideologi sokisme’ yang melahirkan aksi sok-sok-an itu sudah waktunya dibuang. Sok-sok-an hanya akan bertahan ketika media komunikasi man-to-mass menjadi the only game in town saja. Bagai prinsip fisika Newton, dia akan terhenti ketika modus komunikasi mass-to-mass memberikan reaksi dengan gaya yang tak kalah kuatnya.
Konsistensi adalah salah satu prasyarat bagi berkembangnya sain. Tentu politik dalam praktek bukanlah entitas sain murni, tetapi jika ia tidak mampu membangun kompatibilitasnya dengan perkembangan sain, politik bisa-bisa menjadi lubang gelap bagi hidup bersama. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Sok masuk got, sok membela wong cilik, sok Marhaenis, sok nasionalis, dan sok-sok lainnya jelas bukanlah laku yang diharapkan dari para elit sebagai minoritas kreatif dalam menghadapi tantangan abad 21. Bahkan ideologi-pun bisa dihayati sebagai ‘sok-ideologis’, lengkap dengan berbagai distorsinya. Apapun ideologinya, pada akhirnya haruslah nampak pada perilaku, dan dalam ranah ke-negara-an, bagaimana kebijakan-kebijakan ditetapkan serta bagaimana kebijakan-kebijakan itu dilaksanakan.
Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI (bersama Sandiaga Uno sebelum mundur) telah memberikan contoh bagaimana ‘konsitenisme’ dijalankan. Bagi yang berkuasa melalui jalan pemilihan dalam ranah demos-kratos, hal-ihwal menepati janji seperti yang disampaikan pada demos sebelum pemilihan (saat kampanye) adalah tolok ukur terpenting dalam ‘konsistenisme’ ini. Orang boleh bermain dengan segala bingkai, framing, taktik propaganda, apapun itu, tetap saja sebuah konsistensi dari kontestan terpilih adalah dalam hal pemenuhan janji.
Orang boleh meyakinkan khalayak –atau meyakinkan diri sendiri, bahwa politik itu kotor, penuh tipu-muslihat, tetapi itu toh bukannya itu semua tidak tanpa batas? Atau boleh meyakini bahwa yang konsistensi itu adalah konsisten dalam hal kepentingan diri –self interest. Tentu, dan tidak ada yang salah dengan itu semua. Tetapi, juga berasal dari itu semua, kita semua tahu bahwa dalam sejarah ada yang namanya negarawan, politikus besar, dan yang sejenisnya. Yang mampu mengambil moment tertentu untuk melihat dengan jernih hal-ihwal ‘langgam’ konsistensi kepentingan diri itu misalnya, hal-ihwal ‘langgam’ ke-kotor-an politik lengkap dengan segala tipu-muslihatnya juga misalnya. Dan hasilnya ia kemudian mampu menghayati soal konsistensi di luar konsistensi kepentingan diri (dan kelompoknya), yaitu konsistensi antara janji kampanye dan pelaksanaannya ketika ia terpilih.
Mungkin pula langgam yang ‘memabukkan’ ini, langgam seenaknya janji dan seenaknya bagaimana melaksanakan janji, memerlukan ‘the new’ untuk mendobraknya. Sekaligus sebagai ‘pendidikan lapangan’ terkait dengan demokrasi bagi khalayak untuk kemudian secara bersama-sama menapak ke level yang lebih tinggi dalam hidup bersama. Atau biar akrab di telinga untuk sebagian dari kita, mungkin saat ini kita memang perlu new kid on the block. *** (19-10-2018)