14-10-2018
Otak manusia beratnya 2 persen dari total berat tubuh, tetapi ia membutuhkan hampir 20 persen energi saat kita bangun. Berbagai penelitian tentang otak kita telah berkembang pesat akhir-akhir ini, tetapi tetap saja otak manusia masih menyimpan banyak misteri.
Bagi penggemar serial televisi Law and Order, gaya pengadilan dengan sistem juri itu tentu menjadi akrab, termasuk juga berbagai taktik silat lidah dan argumen antara penasehat hukum dan jaksa. Objection adalah sebuah protes formal ketika penasehat hukum atau jaksa dirasa mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang di luar konteks. Hakim akan memutuskan apakah keberatan/objection dari pihak lawan itu bisa diterima atau tidak. Pertanyaan bagi kita adalah, mengapa pertanyaan atau pernyataan yang di luar konteks itu tetap sering diajukan? Toh jika itu ditolak hakim pasti tidak akan masuk sebagai pertimbangan juri.
Jika kita amati lebih dalam, memang bukanlah maksud dari penasehat hukum/jaksa mengajukan hal yang di luar konteks itu akan menjadi bahan pertimbangan juri nantinya. Apa yang ingin ‘disapa’ adalah ke-tidak-sadar-an juri. Mungkin bagi Cloitaire Rapaile itu yang disebut sebagai ‘kode-kode kultural’. Atau dalam term George Lakoff, ‘deep-frame’. Apapun itu, banyak ahli yang yakin bahwa sebagian besar kegiatan sehari-hari kita itu lebih dipengaruhi oleh ke-tidak-sadar-an kita. Tentu hakim dalam peradilan a la Law and Order di atas dia mempunyai wewenang untuk mengusir baik penasehat hukum maupun jaksa ketika pertanyaan-pertanyaan di luar konteks itu terlalu sering diulang meski sudah diperingatkan sebelumnya. Dan itulah juga –ketegasan sang hakim, yang menyelamatkan maruah sistem peradilan tersebut.
Juri dalam sistem peradilan tersebut bagaimanapun adalah manusia, bukan mesin ataupun komputer. Untunglah juri adalah dewan juri, artinya terdiri dari lebih satu orang. Dalam sidang juri akan terjadi dialog, dan dalam dialog tersebut, selain membicarakan fakta-fakta persidangan, sadar atau tidak sadar, pengaruh-pengaruh segala hal yang terjadi selama persidangan tentulah akan mewarnainya juga, termasuk upaya-upaya dari penasehat hukum atau jaksa yang ingin ‘menanam benih’ tertentu dalam ke-tidak-sadaran juri. Tentu dengan dialog pengaruh dari ‘benih yang ditanam’ tersebut akan terupayakan dapat diminimalkan melalui jalan saling koreksi, saling mengingatkan. Katakanlah terjadi dialog antar berbagai imajinasi dari para juri sehingga imajinasi tidak menjadi liar tak terkendali, dan kemudian pada titik tertentu di sebagian besar kasus sampai pada kesepakatan bersama, tersangka: bersalah atau tidak bersalah.
Law and Order adalah serial yang bermutu dan banyak penggemar. Tulisan ini tidak dimaksudkan membahas serial tersebut, tetapi bagaimana menggarap ke-tidak-sadaran massa atau pemilih di 2019 nanti sudah berlangsung menjadi ugal-ugalan dan sangat mengganggu. Seakan berlangsung menjauh dari tanggung jawab ke-publik-annya. Dalam persidangan a la Law and Order, maruah pengadilan akan terjaga oleh kualitas hakim. Dan yang nampak sekarang dalam dinamika pra-pemilu 2019 ini, ke-ugal-ugalannya meng-obok-obok ke-tidak-sadar-an warga negara –dengan sama sekali tidak tahu malu, ini sebenarnya adalah cermin dari kualitas wasit, kualitas hakim, dalam hal ini penyelenggara negara.
Maka, memanglah benar apa yang sudah diperingatkan oleh Napoleon: “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” Apa mau kita dibiasakan dan menuju ke bangsa medioker? Kalau saya tidak, dan itu berarti di 2019 nanti adalah perjuangan konstitusionalnya. Sekarang kita akrabi dulu yang sudah semakin membesar, #2019gantipresiden. ***
(14-10-2018)