21-8-2018
Walter J. Ong SJ. dalam Orality and Literacy: The Technologizing of the Word (1982) menegaskan bahwa oralitas, sound akan cenderung mempersatukan, tetapi penglihatan akan memecah belah. Contoh misalnya baru-baru ini, bagaimana jika ujaran Jokowi soal ‘berani berantem’ itu ditulis melalui twitter? Maka maknanya akan dipersepsi bermacam-macam oleh yang membacanya. Tetapi lihatlah rekaman video yang beredar ketika hal yang sama diucapkan di depan banyak orang, cermati respon audiensnya. Jika film bisu tanpa suara, maka akan banyak macam persepsi, tetapi jika ditambah dengan narasi maka bermacam persepsi itu akan semakin mendekat.
Dalam banyak hal, sadar atau tidak, by design atau tidak, ketika ada dikotomi antara kata dan tindakan, dapat dipastikan bahwa kata akan menempati posisi ‘tertuduh’. Misalnya, semboyan ‘kerja, kerja, kerja’ ketika itu dilawankan dengan kata, maka tiba-tiba saja berarti jangan banyak omong, yang penting kerja. Tidak ada yang salah dari pemaknaan seperti itu, tetapi menjadi salah ketika kemudian kata perlahan mengalami ‘pembunuhan karakter’. Richard Ned Lebow, ilmuwan politik AS, dalam pembacaannya terhadap tulisan Thucydides, sejarawan yang hidup jaman Yunani Kuno, menegaskan bahwa Thucydides mengakui kekuatan retorika dalam membangun dan merawat komunitas, tetapi Thucydides juga mengingatkan bahwa retorika-pun bisa menghancurkan komunitas jika di tangan orang hebat tapi begitu egoisnya. Lebow kemudian menyimpulkan bahwa salah satu tema penting dalam tulisan Thucydides adalah hubungan erat antara kata-kata (words/logoi) dan tindakan (deeds/erga). Lebow melanjutkan dalam kata-katanya: “The positive feedback loop between logoi and erga –the theme of Thucydides’ ‘Archeology’ – created the nomoi (conventions, customs, rules, norms, laws) that made Greek civilisation possible.”[i]
Y.B. Mangunwijaya, dalam artikel “Pendidikan Manusia Merdeka” (Kompas, 11 Agustus 1992), juga menegaskan :
“Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika”
“Pengertian retorika biasanya kita anggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan”[ii]
Jika kita melihat lebih dalam dunia pendidikan bagi anak-anak kita, khususnya di pendidikan dasar, berapa luas ruang dan waktu bagi anak-anak kita untuk melatih dan mengembangkan lisannya? Teramat sedikit, dan bahkan mungkin dianggap sebagai sesuatu yang kurang penting. Tanpa teori konspirasipun jika kita mau berhenti sejenak dan melihat hal ini dengan jernih, maka perlahan akan terkuak agenda tersembunyi dalam ‘membungkam’ anak-anak kita. Maka, bahkan untuk membuat anak kita bicara, jangan sekali-sekali melihat ini sebagai tantangan yang kecil. Sangat-sangat besar ‘kepentingan-kepentingan mbèlgèdès’ yang harus dihadapi. Pemimpin yang plonga-plongo dan lisannya sangat jelek itu, ona-anu-jegégésan-pecingas-pecingis, pasti dan sangat jelas tidak bisa diharapkan lagi! *** (21-8-2018)
[i] Richard Ned Lebow, The Power of Persuasion, dalam Felix Berenskoetter & MJ Williams, Power in Worlds Politics, Routledge, 2007, hlm. 134
[ii] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya,
Walter J. Ong, SJ.