26-7-2018
Frank A. Fetter, PhD, profesor ekonomi politik dan keuangan Universitas Cornell dalam The Principles of Economics with Applications to Practical Problems (1905) menulis: ‘The market is a democracy where every penny gives a right of vote’.[1] Ludwig von Mises di tahun 1922 dalam Socialism, an Economic and Sociological Analysis menegaskan juga bahwa masyarakat kapitalis ‘is a democracy in which every penny represents a ballot paper’.[2] Pada pertengahan 1950-an, H.L. Hunt, seorang plutocrat (= someone who become powerful because they are rich[3]) mengajukan proposal sistem ‘one dollar, one vote.’[4] Yang dimaksudkan Hunt adalah kekuatan pemilih ditentukan oleh kekayaan si-pemilih dan ini terkait dengan besaran pajak yang harus dibayar dimana itu juga berarti besaran kontribusinya ke masyarakat. Jadi bukan ‘one man, one vote’ tetapi ‘one dollar, one vote,’ mirip dengan RUPS.
‘Ketegangan’ antara ‘the rich’ dan demokrasi ini terus berlanjut, paling tidak nampak dalam pernyataan Warren Buffet, seperti dikutip David Harvey, “Of course there is class war,” say Warren Buffet, “and it is my class the rich, who are making it and we are winning.”[5] Apa yang dikatakan oleh Frank A. Fetter dan Ludwig von Mises di awal abad 20 seperti disebut di awal tulisan sebenarnya beranjak dari hubungan produksi-konsumsi. Bagi Fetter, peran konsumen dalam ikut menentukan arah produksi industri menggambarkan bagaimana ‘demokrasi’ berjalan dalam hubungan produksi-konsumsi itu.
Dari pendekatan lain, John Maynard Keynes di tahun 1936, dalam buku The General Theory of Employment, Interest and Money, seperti dikutip oleh Samuel Brittan mengingatkan bahwa, “It is better that a rich man should tyrannize over his bank balance than over his fellow men.”[6] Samuel Brittan dalam Kata Pengantar buku Bertrand Russel, Power (2004) juga menegaskan bahwa ada perbedaan vital antara ‘power over commodities’ dan ‘power over human beings.’
Berbagai kutipan di atas dipaparkan untuk memberi gambaran bagaimana ketegangan antara ‘kekuatan rakyat’ –demokrasi, dan kekuatan uang. Antara ‘power over commodities’ dan ‘power over human beings.’ Pertanyaannya adalah, bagaimana jika dalam demokrasi ‘human beings’ kemudian dianggap sebagai ‘commodities’? Pemilih dengan hak suaranya adalah sebuah komoditas yang mestinya punya ‘harga’ tertentu. Dimana dalam rantai produksi, pemilih adalah ‘produk antara’ saja sifatnya. Maka kemungkinan yang terjadi adalah uang-barang/komoditas-uang. Dan untuk memaksimalkan keuntungan, sebisa mungkin biaya ‘pengolahan’ komoditas serendah mungkin sehingga nantinya dimana hasilnya adalah kekuasaan dan itu akan berarti potensi keuntungan/uang yang berlipat. Komodifikasi dalam ranah demokrasi ini bisa berdampak jauh. Lihatlah bagaimana sebagian ‘selebritis politik’ yang secara telanjang dasarnya adalah semata uang. Atau yang sempat masuk berita soal ‘biaya transfer’ calon legislatif. Bukannya tanpa maksud ‘barang’ itu ‘masuk berita’, paling tidak akan ‘membiasakan’ banyak orang rasa komodifikasi dalam ranah demokrasi.
Maka jangan pernah meremehkan kekuatan uang dalam demokrasi. Warren Buffet seperti kutipan di atas, bukannya ngelamun jika begitu percaya diri. *** (26-7-2018)
[1] Frank Fetter, The Principles of Economics with Applications to Practical Problems , online edition hlm. 212
[2] Lodwig Von Mises, Socialism, an Economic and Sociological Analysis, 1922, hlm. 443
[3] https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/plutocrat
[4] Joseph Burrel, The Republican Treason: Republican Facism Exposed, Algora Publishing, 2008, hlm. 179
[5] David Harvey, Rebel Cities, Verso, 2012, hlm. 161
[6] Samuel Brittan, Preface dalam buku Bertrand Russel, Power, Routledge, 2004, hlm. xii-xiii