13-01-2023
Dalam penghayatan ‘mitis’, kesopanan dalam politik itu bisa terhayati sebagai sebuah ‘sihir’. Ketika para politikus bertingkah-laku, berbicara dengan penuh tata-krama, tiba-tiba saja seakan bertemu dengan seorang ‘dewa’ yang menyilaukan. Seakan sedang melihat tontonan yang sedang dilakonkan, diperankan oleh para ‘bangsawan’ saja. Bahkan jika omongan tidak ada isinya, omong kosong, atau bahkan jika itu ngibul sana ngibul sini-pun tetap akan diberikan tepuk tangannya. Dalam penghayatan ‘ontologis’, dan inilah ranah yang disukai para demagog. Ketika ia berhasil ‘menyapa’ apa-apa yang sedang menjadi kegundahan khalayak. Atau bahkan ia menciptakan kegundahan itu sendiri. Maka kadang halus-kasarnya ucapan menjadi begitu relatifnya. Kadang-kadang ngibul juga, tetapi kadang-kadang tidak juga. Tetapi kebanyakan hanya berhenti dalam kata. Dalam penghayatan ‘fungsionil’, sopan-santun dalam politik akan terhayati sebagai ‘satunya kata dan tindakan’. Penghayatan ‘fungsionil’ tidak terlalu mudah termakan oleh tutur halus, atau figur-figur ‘kebangsawanan’. Demikian juga tidak mudah hanyut dalam timangan kata-kata kaum demagog. Tetapi ia akan menaruh perhatian lebih pada rekam jejak, dan juga tidak serta-merta percaya pada omongan saja. Tetapi lebih pada bagaimana kata-kata itu akan diwujudkan dalam realitas.
Tetapi bukan berarti dalam penghayatan ‘fungsionil’ jejak-jejak penghayatan ‘mitis’ dan ‘ontologis’ terus menjadi kering-kerontang. Lihat misalnya, bahkan seorang yang sangat rasional-pun bisa-bisa ia percaya pada takhayul tertentu. Wajar-wajar saja. Penghayatan ‘fungsionil’ tetaplah bisa menghayati dan bahkan berharap juga yang ada di depannya adalah tutur-kata penuh tata karma. Atau rangkaian kata-logika yang mampu membuka apa yang sebenarnya terjadi. Atau akan terjadi. Tetapi lebih dari itu, menjadi sangat penting baginya soal ‘satunya kata dan tindakan’. Dan itulah ‘kesopanan-tertinggi’ dalam politik. Bukan ‘kesopanan tipu-tipu’. *** (13-01-2023)
Bahan bacaan : Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius. 1988