10-01-2023
Fasis! Demikian tudingan Presiden Brasil Lula da Silva mengungkap merengsek dan ganasnya massa pendukung Bolsonaro menyerang gedung DPR dan Mahkamah Agung di Brasilia sono, beberapa hari lalu. Peristiwanya sendiri sangat mirip dengan kejadian 2 tahun lalu di AS ketika pendukung garis keras Trump merengsek Capitol Hill. Bolsonaro, presiden yang dikalahkan Lula beberapa bulan lalu itu memang penggemar berat Donald Trump, presiden kucluk yang ikut ‘menyarankan’ minum cairan desinfektan saat Covid-19 menggila di AS sono beberapa waktu lalu. Fasisme yang menurut Harold J. Laski hampir 1 abad lalu itu, merupakan ‘jalan gampang’ dalam menyelesaikan dilema antara demokrasi dan aksi ambil untung yang gila-gilaan. Dari asal katanya, fasis juga menunjuk di-ikat-eratnya dalam satu ikatan tertentu, atau bisa kita bayangkan bagaimana massa yang merengsek itu ada dalam ‘ikatan-emosionil’ tertentu yang akhirnya meminggirkan akal sehat. Dan biasanya mereka diikat dalam bayang-bayang ‘sok-nasionalis’, atau sejenisnya. Buta, cenderung chauvinis. Sangat lupa bahwa dibalik itu sebenarnya adalah sebuah keserakahan ambil-untung yang sudah gila-gilaan, accumulation by dispossession yang sudah tak tahu batas lagi.
Dalam demokrasi, akal-sehat mestinya yang maju paling depan. Tetapi bagi yang demen accumulation by dispossession itu seperti ditunjukkan Laski, ‘akal-sehat’ bisa-bisa akan nyrimpeti, akan menghalang-halangi maksimalnya gejolak hasrat. Maka tak mengherankan pula bahwa yang diaduk-aduk adalah soal ‘emosi’. Yang salah satu bablasannya adalah fasisme itu. Maka jungkir-balik ‘akal-sehat’ adalah salah satu ‘pembiasaan’ yang akan dilakukan. Eks napi korupsi dijadikan ‘duta’ anti-korupsi, atau ‘dimuliakan’ dalam jabatan tinggi di ranah publik. Atau jabatan-jabatan tertentu justru dipimpin oleh orang-orang yang bahkan bersentuhan dengan ranah tersebut-pun tidak pernah. Atau dalam debat publik justru dihadirkan yang mainnya lebih pada emosi saja. Bermacam aduk-aduk akal-sehat ini dilakukan selain menggiring khalayak dalam penghayatan emosionilnya saja, apapun itu intinya adalah sepanjang accumulation by dispossession bisa dilakukan dengan maksimalnya.
Masih ‘untung’ di Brasilia sono yang berbahasa Rusia hampir dikatakan tidak ada. Coba jika banyak yang berbahasa Rusia dan kemudian ada faksi ‘partai-telik-sandi’ yang kemudian menggiring massa untuk juga nyampluk, naboki, ngencengin, mukulin yang berbahasa Rusia itu, bisa-bisa Putin menjadi punya alasan untuk menyerang Brazil. Tambah runyam. *** (10-01-2023)