16-12-2022
Bagaimana jika mirror-neuron system itu tidak ada dalam otak kita? Akankah air-liur akan menetes ketika melihat di depan kita sedang makan enak? Atau sedang makan rujak kedondong muda? Mirror-neuron system bagaimanapun juga akan terlibat dalam proses belajar, dalam rute paling ‘primordial’-nya: meniru. Juga nampaknya ia terlibat dalam rasa-merasa antar manusia bahkan makhluk hidup, yang juga paling ‘primordial’: empati. Dan jika tidak ada mirror-neuron system ini, akankah Piala Dunia akan meriah?
Bagaimana jika mirror-neuron system ini kita lihat dalam ranah kuasa? Apakah akan berbeda dalam praktek-dan-konsekensinya saat akan merebut hegemonia dan saat menggunakan arche? Saat merebut kuasa dan saat menggunakan kuasa? Segala gelar Piala Dunia adalah soal merebut hegemonia, tetapi begitu hegemonia ada di tangan, berubahnya menjadi arche hanyalah nampak pada peringkat FIFA saja. Tak lebih dari itu, tentu ada soal kebanggaan dan lainnya. Tetapi soal ke-hirarki-annya ya hanya di peringkat FIFA itu, entah naik drastis menjadi nomer satu atau nomer dua. Tetapi tidak di politik. Ketika hegemonia direbut dan ‘berubah’ menjadi arche di-tangan, ke-hirarki-an jika ‘salah asuh’ bisa berujung bahkan menjadi sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Ketika kerumunan menjadi ‘budak’ saat merebut hegemonia, dan diam-diam jika kerumunan masih saja terus dimainken setelah hegemonia ‘berubah’ menjadi arche, jangan-jangan kerumunan itu sudah berubah pula menjadi ‘tuan’, disadari atau tidak. Si-hegemon tiba-tiba saja merasa tidak berarti lagi jika tidak ada di tengah-tengah kerumunan. Kerumunan yang selalu saja menjauh dari keberpikiran itu tiba-tiba saja telah menjadi ‘pengasuh’ utamanya. Gejolak-kenikmatan dalam kerumunan itu seakan menerobos masuk kesadaran melalui salah satunya rute mirror-neuron system itu. ‘Mob-rule’ perlahan masuk dalam ‘sedimentasi’ bawah sadarnya. Hasilnya? Contoh masa lalu, Hitler yang kemudian semau-maunya.
Relasi ‘tuan-budak’ itupun kemudian berdenyut silih berganti. Kerumunan-pun kemudian merasakan begitu dalamnya kenikmatan yang diperoleh dari ke-hirarki-an si-hegemon. Maka sering akan ditemui diantara mereka seakan sudah lupa diri, nantang sana nantang sini. Gejolak hasrat itu seakan menjadi liar tanpa menghiraukan lagi kanal-kanal penyaluran hasrat yang sudah disepakati. Tetapi ketika si-hegemon merasa perlu ‘suntikan legitimasi’ maka kerumunan itu jadilah ‘budak’ lagi. Jebakan-spiral ‘ketidak-berpikiran’ ini salah satu ujung paling menggelisahkan adalah semakin membesarnya ‘an instinct to exclude’, meminjam istilah Amy Chua dalam Political Tribes (2019). *** (16-12-2022)