06-12-2022
Maka kata kuncinya adalah ‘hirarki’, terkait dengan ‘berubah’-nya hegemonia ke arche itu. Dari asal katanya hirarki menunjuk pada tingkatan tertinggi. Dan siapa yang tidak tergiur dengan hal ini? Maka dapat dilihat juga bahwa dalam rejim demokrasi salah satu ‘kesibukan’-nya adalah bagaimana hal yang sungguh menggiurkan ini tidak malah kemudian berkembang menjadi entitas yang justru menghancurkan ‘tertib tatanan’ hidup bersama. Atau supaya demokrasi tidak menjadi balik jurusan, menuju feodalisme lagi. Kalau meminjam istilah Adam Smith, yang duduk di puncak hirarki itu semestinyalah si-famous sect, si-sekte agung –bukan si-fake famous seperti yang bertebaran di era sosial media ini. ‘Agung’ bukan karena keturunan ini-itu, atau mendapat pulung macam-macam, atau karena masuk golongan bangsawan, tetapi karena ia mempunyai keutamaan lebih dari ‘kebanyakan’, yang mana menurut Smith kebanyakan itu perilakunya di pasar cukuplah mempunyai keutamaan ‘sepantasnya’ saja. Keutamaan si-sekte agung lebih dari ‘kebanyakan’ itu terutama dalam hal keutamaan pengendalian diri, self-restraint. Kemungkinan besar yang dimaksud Adam Smith itu adalah mempunyai pengendalian diri besar untuk tidak terlalu banyak campur tangan dalam ‘mekanisme pasar’. Dan sekaligus pula sebagai ‘pengamat’ apa-apa yang memang pasar akan kurang mampu untuk menyelesaikan. Tetapi apapun itu, hal tersebut sebenarnya mengindikasikan bahwa meski pengendalian gejolak hasrat melalui rute hasrat vs hasrat tetap dikembangkan dan bahkan kemudian kita beri nama sebagai suatu sistem misalnya, pengendalian gejolak hasrat melalui rute ‘kualitas diri’ si-aktor itu tetaplah sangat penting. Mengapa? Sebab ‘penggemar’ salah satu pendapat Thucydides (meninggal 400 SM) bahwa keadilan itu adalah soal yang lebih kuat akan selalu ada, dan sistem bisa-bisa ujungnya adalah dengan mudahnya -tanpa beban, untuk dikangkangi secara sewenang-wenang. Atau aturan-perundangan dengan entengnya diubah-ubah sesuai selera si-aktor.
‘Pengendalian diri’ terhadap gejolak hasrat pada pemimpin itu bukanlah sesuatu bayang-bayang saja, bukan suatu ke-naif-an, tetapi adalah suatu yang kongkret dan bisa kita lihat bagaimana kualitas pemimpin dari negara-negara yang bisa maju dengan mengambil jalan demokrasi. Empirik. Tentu bagaimana rute hasrat vs hasrat tetaplah merupakan syarat mutlak, tetapi tetap saja kualitas aktor-lah yang kemudian menjadi syarat ‘mencukupi’ supaya rute demokrasi bisa menjadi jalan untuk kemajuan. Dalam Abad Informasi ini semakin nampak bahwa godaan terbesar dalam ‘pengendalian diri’ adalah bagaimana pemimpin memperlakukan informasi. Sampai kapanpun selagi manusia berbahasa, soal disinformasi, misinformasi, spin, hoak-hoek, putar-balik-fakta, tipu-tipu, ngibul, akan selalu ditemui dalam dinamika politik. Masalahnya adalah soal batas, soal ‘pengendalian diri’. Jadi bukan masalah politik ya gitu itu, tidaklah ..., ini sekali lagi soal batas. Bagi pemimpin memang tidak mudah menghadapi tantangan ‘pengendalian diri’ ini terutama ketika hegemonia itu sudah ‘berubah’ menjadi arche yang lekat dengan ‘hirarki’. Yang lekat dengan ‘kontrol’.
Maka di Abad Informasi ini, ‘pengendalian diri’ ranah informasi ini bisa-bisa menjadi tolok-ukur dengan kepekaan tinggi apakah seorang pemimpin itu memang mempunyai keutamaan ‘pengendalian diri’ atau tidak. Sejarah telah banyak menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang miskin keutamaan ‘pengendalian diri’ ini banyak yang justru mendorong hidup bersama masuk ke jurang kegelapan. Lepasnya ‘kendali diri’ itu kemudian memudahkan orang masuk dalam sebuah mania, sebuah kegilaan. Macam-macam bentuk kegilaannya. *** (06-12-2022)