02-11-2022
Hari-hari ini 50 tahun lalu, salah satu tonggak-pondasi Orde Baru ditancapkan: penyederhanaan partai politik. Dan meski banyak yang tidak nyaman dengan ‘fusi partai’ itu, jejaknya ternyata masih nampak kuat bahkan 24 tahun setelah tumbangnya Orde Baru. Penyederhanaan partai politik sebenarnya juga bisa dilihat soal manajemen kuasa. Jika si-S cukup kuat dalam kendali, ‘distribusi’ kuasa cukuplah rentangnya sempit saja, ‘dibagikan’ pada sedikit pihak saja. Tetapi jika si-J tidak cukup kuat, maka ‘distribusi’ kuasa akan dibuat lebih lebar rentangnya, ‘dibagikan’ pada lebih banyak pihak. Karena dibagikan di banyak pihak maka ‘porsi’ kuasa-pun ikut-ikutan kecil juga. Maka cukuplah dengan segala kelemahannya ia masih bisa pegang kendali ‘kuasa-kuasa kecil’ itu. Tetapi jelas juga pertimbangan si-S untuk melakukan penyederhanaan partai politik tidak semata atas pertimbangan di atas. Pada kesempatan ini bukan soal si-S melakukan ini atau itu, tetapi dampak terhadap keputusan penyederhanaan partai politik itu, apakah masih terasa sampai sekarang? Apakah ‘kawin paksa’ itu sampai sekarang masih berdampak?
Maka kita bisa berangkat dari pertanyaan Machiavelli kepada Sang Pangeran dalam Sang Penguasa (The Prince): “Anda sedang berusaha merebut kekuasaan atau sedang memegang kekuasaan?” Karena menurut Machiavelli, apa yang dilakukan saat merebut kekuasaan itu bisa sangat berbeda ketika menggunakan kekuasaan. Demikian juga soal ‘kawin paksa’ melalui fusi partai-partai di 50 tahun lalu itu. Hidup dalam situasi ditekan atau di luar kekuasaan bisa-bisa sangat berbeda ‘suasana kebatinan’-nya dalam penghayatan ‘kawin paksa’ itu dibanding ketika ia sedang pegang kekuasaan. Perbedaan ‘titik-berangkat’ atau katakanlah ‘ideologi’ menjadi relatif kabur ketika ada dalam situasi represif atau di luar kuasa. Maka sebenarnya ada masalah ‘pengembangan ideologi’ yang ada tidak di jalur yang semestinya ketika masalah ‘ideologi’ sedang terpinggirkan karena alasan-alasan bertahan hidup dulu. Maka ketika ‘kawin-paksa’ itu memegang kuasa, ia punya dasar yang rapuh. Dalam situasi bermacam godaan besar mendekat karena sedang pegang kuasa, rapuhnya pondasi ‘kawin paksa’ itu bisa berujung macam-macam. Bisa tak terduga, bisa juga runyam. Tidak hanya ‘produk-produk-kebijakan-perilaku’ yang seakan keluar tanpa basis ‘ideologi’ lagi –acakadut, sontoloyo abis, tetapi juga ‘suasana kebatinan kawin paksa’ itu semakin menampakkan kerapuhannya juga.
Maka kesadaran sudah ada di depan ‘kematian’ itu sebenarnya adalah saat yang tepat untuk menjadi ‘otentik’. Kembali ke ‘dasar’. Mulai dari mempertanyakan lagi soal ‘kawin paksa’ itu. Toh itu adalah juga hasil rekayasa rejim yang begitu ‘dibenci’-nya. Berani? *** (02-11-2022)