www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-11-2022

Ada yang mengatakan bahwa hantu-hantu para diktator abad 20, terutama bagaimana rute kejatuhannya, cukup membuat ketar-ketir para penguasa abad 21 yang sudah lama bercokol di kursi kekuasaannya. Dan bagaimana mereka berupaya berkelit dari terkaman hantu-hantu diktator abad 20 itu tidak hanya bisa-bisa tak terduga, tetapi juga menampakkan biaya-biaya kemanusiaan yang sungguh tinggi. Contoh yang sekarang terjadi, Putin. Terlalu lama berkuasa itu sejarah telah memberikan pelajaran pada kita: terlalu banyak pula yang kemudian dipertaruhkan. Terlebih jika terlalu banyak ‘kekayaan’ yang diperoleh karena kuasa. Contoh yang sedang terjadi, Putin dan kaum oligark di sekitarnya. Tak peduli lagi banyak orang menjadi kelaparan, atau kedinginan, atau harus mengungsi ke tempat yang jauh dari dimana ia dilahirkan, dibesarkan, dan sehari-hari hidupnya di situ.

Jair Bolsonaro bisa dikatakan sebagai ‘Trump kecil’, ugal-ugalannya mirip-mirip dengan Donald Trump. Pengaruh ‘kanan-jauh’-nya begitu lekat. Lihat bagaimana kemiripan Bolsonaro dalam menghadapi COVID-19 itu: survival of the fittest sebagai titik berangkatnya. Tak jauh dari ugal-ugalannya Trump. Akibatnya kematian di kalangan suku asli Brasil-pun melonjak tinggi. Karena rata-rata kesejahteraannya ada di bawah. Daya tahan tubuh karena pengaruh gizi-pun akan berpengaruh dalam menghadapi serangan bermacam virus, termasuk COVID-19 itu. Juga soal akses ke pelayanan kesehatan. Belum soal penjarahan hutan Amazon yang semakin memojokkan mereka. Belum lagi keterbelahan antar warga yang begitu dalamnya, tak jauh dari apa-apa yang ditinggalkan Trump selama berkuasa 4 tahun itu.

Ketika survival of the fittest ini terhayati sebagai ‘ideologi’, maka tiba-tiba saja ‘dunia’ seakan terbelah: ‘yang lebih fit’ dan ‘yang kurang/tidak fit’. Tidak hanya ‘fit’ dalam ekonomi, tetapi bisa-bisa ‘fit’ dalam masalah moral juga. Maka ketika survival of the fittest ini terhayati sebagai ‘ideologi’ itu bisa terjadi tidak hanya di dunia kapitalisme saja, tetapi juga di dunia komunisme, dan bahkan juga teosentrisme. Istilah survival of the fittest sendiri bukanlah ‘ciptaan’ Charles Darwin (1809-1882), tetapi pertama kali diintrodusir oleh Herbert Spencer (1820-1903), seorang filsuf Inggris. Jika istilah sentral Darwin, seleksi alam dan survival of the fittest disandingkan maka bisa dibayangkan bahwa soal survival of the fittest itu adalah soal respon terkait dengan bermacam gejolak alam. Menjadi sangat berbeda ketika terhayati sebagai ‘ideologi’ yang bisa-bisa saja lebih mengambil rute ‘jalan gampang’, sebagai legitimasi. Karena merasa lebih ‘fit’ maka kemudian merasa pula mempunyai hak sah untuk lebih menentukan, bahkan: semau-maunya. Dan itulah gambaran kasar dari Bolsonaro, lupa bahwa ‘fit’ atau kurang/tidak ‘fit’ adalah soal respon terhadap tantangan. Tantangan bagi siapa? Bukan tantangan bagi yang meng-klaim diri sebagai ‘the fittest’, tetapi tantangan bagi seluruh warga-negara, terutama sekali yang sering dituding sebagai yang kurang/tidak ‘fit’ itu. Atau kalau mau lebih ‘pasti’, buka lagi kesepakatan-kesepakatan awal saat mendirikan sebuah negara-bangsa.

Maka di dalam rejim demokrasi, kekalahan Bolsonaro adalah juga kekalahan sebuah kepongahan. Kekalahan sebuah laku ugal-ugalan. Dan sebenarnya juga dalam praktek, tergusurnya sebuah kediktatoran melalui jalan demokrasi. Kediktatoran dari yang merasa sebagai ‘the fittest’ itu. Kediktatoran karena ada asumsi yang begitu dalam soal ‘the fittest’ dan yang ‘kurang/tidak fit’. Kediktatoran yang berdiri di atas bara keterbelahan yang begitu dalam. Fanatisme. *** (01-11-2022)

Hantu Lula