28-10-2022
Berita berdasar penelitian tahun 2019 terungkap bahwa IQ penduduk Indonesia rata-rata adalah 78,49. Tolok ukur yang sudah berusia 110 tahun itu, memberitahukan pada kita juga bahwa rata-rata tersebut termasuk rendah dibanding dengan komunitas lainnya. Mau setuju atau tidak terhadap salah satu tolok ukur itu (IQ), yang lebih penting selanjutnya adalah apa yang akan kita lakukan.
Studi epigenetik juga memberitahu kita bahwa rata-rata IQ 78,49 bukanlah ‘harga mati’, bukannya tidak bisa ditingkatkan. Atau sudah nasib semata. Maka faktor lingkungan menjadi sangat penting, terutama gizi dan stimulasi. Gizi dari calon ibu, selama hamil, saat menyusui, dan terutama gizi anak di awal-awal usia. Terlebih di masa ‘golden-period’ perkembangan otak, sampai dengan usia 6 bulan. Dan selanjutnya sampai dengan usia menjelang 3 tahun, dan setelah itu katakanlah melanjut sampai usia balita. Asupan gizi pada usia-usia ini akan sangat penting bagi perkembangan otak, dan tentu juga soal stimulasinya. Itu harus menjadi perhatian serius, terutama bagi pemangku kebijakan demi generasi yang akan datang. Tetapi bagaimana bagi yang sekarang sudah masuk SD, misalnya. Maka terlebih yang masih ada di usia ‘wajib belajar’, sampai setingkat SMP, lupakan rata-rata IQ itu, tetapi mari bicara potensi. Bukan kompetensi.
Ada satu stimulasi yang perlu mendapat perhatian lebih di republik, terutama sejak lahir sampai katakanlah di usia akhir wajib belajar itu: stimulasi yang berujung pada berani bicara. Ahli-ahli perkembangan anak bisa memberikan paparan bagaimana stimulasi itu dikembangkan sehingga anak di kemudian hari menjadi anak yang berani bicara. ‘Can subaltern speak?” demikian ‘tantangan’ dari Spivak. Tantangan karena bagaimanapun juga anak sampai usia wajjib belajar itu, sadar atau tidak ia bisa dalam posisi ‘subaltern’. Maka stimulasi sehingga anak bisa berani bicara mesti juga harus menilik dengan cermat ‘situasi kebatinan’ si-orang tua, juga para guru. Dan bahkan juga pemangku kebijakan di atasnya. Mengapa berani bicara menjadi penting? Karena ini salah satu aspek penting bagaimana potensi anak bisa lebih menampakkan diri.
Maka berhentilah bicara kompetensi di usia-usia wajib belajar itu. Bicaralah soal potensi. Seorang dengan IQ tinggi memang akan menyimpan lebih banyak potensi, tetapi yang IQ rendah-pun pastilah mempunyai potensi juga. Apapun itu. Dan pendidikan dasar sampai setingkat SMP itu pada intinya adalah memberikan ruang dan waktu anak menemukan potensi dalam dirinya. Tidak usah ada itu kenaikan kelas biar tidak terjebak dalam lingkaran ‘kompetensi’ sehingga soal potensi justru malah dilupakan. Tidak ada itu guru yang sepenuhnya ‘merdeka’ karena apa-apa yang mau disebut sebagai ‘merdeka’ itu akan tidak ada artinya jika malah justru anak menjadi ‘rabun-potensi’ diri.
Apa yang terjadi ketika hinggap-lekat pada diri anak ‘rabun-potensi’ ini? Atau lihat di republik, ketika ‘rabun-potensi’ itu sudah sedemikian parah, pertumbuhan 5% dalam situasi normal-pun sudah banyak yang tepuk tangan. Padahal dengan segala potensi sumber daya alam, jumlah penduduk, dan banyak lagi, potensi untuk tumbuh lebih dari 7% itu sangatlah besar. Ketika anak-anak kita meniti di dunia dewasa dan ia dengan penuh ketekunan berjuang dengan potensi yang ada dalam dirinya, maka bisa diharapkan ia berkembang tidak hanya 5%, tetapi bisa 10% atau bahkan lebih, jika memakai analogi republik seperti di atas. Pajak-pajak yang terkumpul, bahkan kemudian dengan besarnya anggaran untuk pendidikan itu, salah satunya adalah untuk ini semua. Mengembangkan potensi anak. Mengembangkan potensi republik.
‘Job-security’ di bidang perburuhan itu kemudian bisa juga berarti ‘potency-security’, artinya pengelola negara juga mempunyai kewajiban dalam mengembangkan bermacam lapangan kerja terkait dengan bermacamnya potensi warga negaranya. Mengapa? Karena pasar sering bisa sewenang-wenang. Kalau semua diserahkan pada pasar, mengapa kita harus bayar pajak? Tentu pasar adalah instrumen yang sangat penting, tetapi adakah sebuah negara-bangsa benar-benar berposisi sebagai ‘ultra-minimal state’? Ngibul itu. *** (28-20-2022)